Sampul depan buku Gus Dur Van Jombang. (ist)


Judul Buku : Gus Dur Van Jombang

Penulis : Heru Prasetia

Komikus : Edi Jatmiko

Penerbit : PT. Bentang Pustaka

Tahun Terbit : Juni 2010

ISBN : 978-602-7888-30-2

Halaman : vi + 122

Ukuran : 13 x 20 cm

JOMBANG –
Buku Gus Dur Van Jombang merupakan kisah perjalanan sosok ulama yang banyak digandrungi masyarakat karena sepak terjangnya yang meneduhkan. Tiada lain adalah KH. Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sapaan khasnya Gus Dur.

Menariknya, buku karya bersama Heru Prasetia dan Edi Jatmiko ini ditampilkan serupa komik. Jadi pembaca diajak mengenal sosok Gus Dur dengan dibantu membangun imaji melalui suguhan ilustrasi yang menarik. Tak ayal pembaca akhirnya berselancar menikmati tiap halaman tanpa disadari terus membaliknya hingga akhir.

Di halaman muka (baca: Kover) pembaca sudah diajak membaca semiotika Gus Dur sebagai tokoh pluralisme di Indonesia. Tak seperti gambaran ulama kebanyakan, karena Gus Dur ditampilkan mengenakan pakaian khas Tionghoa dengan menaiki Barongsai. Jelas bertolak belakang sekali dengan sketsa yang sudah terekam oleh kebanyakan masyarakat tentang seorang ulama.

Buku ini seakan menjadi mesin waktu yang mengajak pembaca menyelami setiap fase kehidupan Gus Dur.

Memang Gus Dur membuat gebrakan luar biasa selama hidupnya. Diantaranya menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional hingga memperbolehkan pelbagai tradisi Tionghoa ditampilkan dihadapan khalayak umum. Sehingga jelas sekali bagaimana Gus Dur mencoba mengangkat drajat kelompok minoritas.

Selain menceritakan dari sudut pandang kiprah Gus Dur di ranah politik sebagai presiden Indonesia pertama pasca reformasi 1998, dalam buku Gus Dur Van Jombang juga menyinggung perjalanan masa kecilnya hingga tumbuh dewasa dan menempuh pendidikan di negeri seberang.

Baca Juga: Arya Putra Nurahkman Motivasi dari Ibu, Jadikan Dirinya Tangguh

Meskipun dikenal sebagai tokoh ulama dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, ternyata Gus Dur dilahirkan Desa Denanyar, Kecamatan/Kabupaten Jombang. Bahkan sempat terjadi perdebatan soal tanggal lahirnya, sebab ibunya Hj. Scholichah menekankan pada penanggalan Hijriyah. Sementara petugas pencatatan sipil memakai hitungan Masehi.

Diceritakan sang ayah, Wahid Hasyim sebelumnya memberikan nama Abdurrahman Addakhil yang memiliki arti sosok penakluk. Seiring bertambahnya usia, nama besar sang ayah melekat didirinya hingga berganti nama menjadi Abdurrahman Wahid.

Kisah Gus Dur kecil yang jenaka tergambar jelas, namun berubah tangguh sepeninggal sang ayah pada tahun 1953 saat usia usia Gus Dur masih 12 tahun. Perlahan dia menjadi pembelajar yang selain menekuni agama juga tata kepemerintahan baik nasional maupun internasional.

Tak terkecuali perjuangannya dalam membangun keluarga yang sempat mengalami kekurangan finansial. Saat itu selain menekuni ceramah dan menulis di pelbagai koran, hingga membuatnya berjualan es lilin.

Buku ini seakan menjadi mesin waktu yang mengajak pembaca menyelami setiap fase kehidupan Gus Dur. Tak banyak kekurangan yang dapat ditemui di buku ini, hanya terdapat beberapa balon kata yang tak terisi dialog serta tulisan halaman i hingga 1 juga tak ada.

Peresensi: Rabithah Maha Sukma

Lebih baru Lebih lama