Suasana belajar di Kelas IV SDN Pandanwangi Diwek. (Donny)


JOMBANG – Dalam dunia pendidikan, adanya sebuah kurikulum tentu bukan menjadi sebuah hal yang asing. Sebagaimana yang termaktub pada Undang-Undang Nomor 20, Pasal 1 Butir 19, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa definisi kurikulum ialah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Merujuk pengartian tersebut, dapat disimpulkan bahwasannya kedudukan kurikulum cukup vital dalam memastikan arah sekaligus model pembelajaran yang terintegrasi dalam cita-cita pendidikan di setiap era. Senyampang itu pula, kurikulum pun selalu berganti rupa serta modelnya, bergerak seraya mengikuti perkembangan zaman. Apabila ditarik mundur selama lebih dari satu dasawarsa, kurikulum di Indonesia mengalami beberapa perombakan. Mulai dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 (K13), dan teranyar ialah Kurikulum Merdeka (KM).

Melacak jejak historisnya, konsep KTSP sendiri ditelorkan pada tahun 2006. Kelahiran KTSP berangkat dari upaya pengembangan kurikulum yang mana untuk standar isi dan kompetensi lulusannya bersandar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan 23 Tahun 2006. Adapun posisi kedua standar tersebut saling terpaut, mengingat cakupan standar isi yang meliputi ruang lingkup materi ajar akan menentukan kompetensi lulusan. Kemudian, dari sinilah kompetensi lulusan lantas diukur menggunakan tiga indikator, yaitu, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Selanjutnya, secara karakteristik implementasinya, KTSP ini sendiri mencakup perluasan otonomi satuan pendidikan serta sentralisme kedudukan wali peserta didik yang mendorong supaya terwujudnya kemajuan tata kelola satuan pendidikan.

Guru diberikan keleluasaan tatkala menyusun serta menentukan bahan pembelajarannya. Sehingga secara esensial, materi diharapkan dapat diterapkan secara fokus dan sejalan dengan pengamalan P5 yang menjadi penguatan soft skills peserta didik.

Beranjak dari KTSP yang menekankan aspek pembelajaran pada sikap, pengetahuan, dan keterampilan kemudian beralih ke K13. Mengutip kajian Jurnal Ilmiah Iqra’ Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Manado, berjudul Analisis Kritis Kebijakan Kurikulum Antara KBK, KTSP, dan K13, diuraikan K13 merupakan babak penyempurnaan dari dua kurikulum yang ditetapkan sebelumnya.

Perbedaan dengan KTSP terletak pada karakteristiknya yang melingkupi kompetensi dasar peserta didik yang detail berdasarkan prinsip akumulatif, saling memperkuat, dan memperkaya pemahaman antar mata pelajaran. Adapun pijakannya, tidak hanya bersandar pada kekuatan undang-undang. Melainkan ditumpu oleh pelbagai aspek. Diantaranya filosofis, psikologis, dan konseptual.

Baca Juga: Penghijauan Desa Made Mencetak Generasi Sadar Lingkungan

Selain itu tujuan dari K13 sendiri tak lain untuk memompa daya observasi peserta didik melalui pendekatan sainstifik yang tertuang pada prinsip 5 M yakni mengamati, menanya, mengumpulkan informasi (eksperimen), mengasosiasikan (mengolah informasi), lalu terakhir ialah mengkomunikasikan. Sembilan tahun berselang dan sampai hari ini K13 masih diberlakukan.

Akan tetapi, ketika masa pagebluk mengguncang segala sektor, termasuk pendidikan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) RI telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran. Latarbelakang dikeluarkannya ketetapan tersebut, tak lain sebagai upaya menanggulangi krisis pembelajaran yang telah lama menggejala di tubuh pendidikan nasional, dan semakin diperparah oleh kungkungan wabah Covid-19 sejak awal bulan Maret tahun 2020 lalu.

Praktik listrik sederhana oleh peserta didik SMP Darul Ulum 2 Jombang. (Donny)

Merinci isi dari SK di atas, Mendikbudristek RI, Nadiem Anwar Makarim, menyuguhkan beberapa opsi kurikulum. Diantaranya, Kurikulum Darurat (penyederhanaan) dan teranyar ialah Kurikulum Merdeka (KM). Berpijak dari laman kemdikbud.go.id. Mas Menteri sapaan akrab Mendikbudristek RI menyampaikan ketiga pilahan tersebut sejatinya tidak akan merubah kurikulum yang sedang dijalankan satuan pendidikan saat ini. Sebab sifatnya hanya pilihan dan tetap mempertimbangkan kesiapan masing-masing satuan pendidikan dalam mengembangkan pembelajaran bersama peserta didik.

Menyinggung pengembangan pembelajaran dalam KM yang tengah digulirkan saat ini, terdapat divergensi yang cukup kentara dengan K13. Dijabarkan dalam laman resmi kurikulum.kemdikbud.go.id. jika K13 masih berpatokan pada Kompetensi Dasar (KD) berupa sikap, sosial, sikap spiritual, pengetahuan dan keterampilan. Sementara KD dinyatakan dalam bentuk poin dan diurutkan guna kompetensi inti yang terakumulasi setiap tahun.

Berbeda halnya dengan KM yang mana KD berganti dengan istilah Capaian Pembelajaran (CP), dimana CP ini disusun per fase sesuai jenjang peserta didik, dinyatakan dalam paragraf, isi paragraf berupa keterangan CP tersebut, menerangkan perihal pengetahuan, sikap, keterampilan, guna merengkuh keberhasilan, kekuatan, dan peningkatan kompetensi. Selain itu pula, KM mengakomodir pembelajaran dengan pendekatan berorientasi kepada kebutuhan peserta didik yang diejawentahkan dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Karakteristik KM

Namun sebelum jauh mendedah perangai KM, sedianya perlu dikupas terlebih dahulu definisi KM secara utuh nan menyeluruh. Merunut pada buku saku KM yang dikeluarkan oleh Ditpsd Kemendikbudristek RI, KM ialah wajah baru kurikulum dengan ragam pembelajaran intrakurikuler. Artinya, ketika KM diimplementasikan oleh satuan pendidikan, maka harus terdapat kegiatan utama yang dilaksanakan dengan menggunakan alokasi waktu sesuai struktur programnya.


Pembelajaran di TK Negeri Pembina Ploso. (Donny)

Selebihnya untuk menunjang penerapan KM, guru diberikan keleluasaan tatkala menyusun serta menentukan bahan pembelajarannya. Sehingga secara esensial, materi diharapkan dapat diterapkan secara fokus dan sejalan dengan pengamalan P5 yang menjadi penguatan soft skills peserta didik.

Menurut kacamata Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Bambang Rudy Tjahjo Surjono, M.Pd. serangkaian aspek penyokong KM, mulai dari fleksibilitas guru dapat mengelola pembelajaran, materi, hingga penebalan kemampuan peserta didik, memang sejatinya menjadi ruh dari penerapan KM. Ditambah lagi dengan pembekalan ihwal prinsip-prinsip dasar aplikasi KM yang terus berjalan, diharapkan memupuk optimisme pengemban kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, dalam hal ini guru dan kepala satuan pendidikan untuk mulai merubah paradigma pembelajaran yang didedikasikan sepenuhnya untuk peserta didik.


Bambang Rudy Tjahjo Surjono, M.Pd. (Donny)

Bambang Rudy Tjahjo Surjono mengatakan, “Sejauh pada data yang sudah terpersentase sejumlah 87 % capaian pemilihan KM di tingkat SD dan SMP. Rinciannya, untuk SD sebanyak 84,0% dan SMP 94,6% yang memilih dan merintis pelaksanaan KM. Menimbang hasil tersebut, maka kami sudah mempersiapkan rencana untuk membentuk tim percepatan implementasi KM jalur mandiri yang akan melibatkan pemangku jagat pendidikan di Kota Santri ini.”

Jalur Mandiri percepatan KM dipilih karena berdasarkan pilihan satuan pendidikan yang langsung terhubung dengan Kemendikbudristek RI. Sehingga selaku Organisasi Perangkat Daerah yang bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan di Telatah Kebo Kicak, Disdikbud Kabupaten Jombang berupaya memfasilitasi lewat tim percepatan tersebut, imbuh Bambang Rudy Tjahjo Surjono.

Sementara itu merenik karakteristik KM, Kepala Seksi Kurikulum dan Penilaian SD, Bidang Pembinaan SD, Disdikbud Kabupaten Jombang, Drs. Kasmuji Raharja, M.Pd. merinci, pada tubuh KM sendiri merupakan penyempurnaan dari K-13. Perbaikan ini ditandai oleh munculnya projek sebagai manifesto praktik dari materi yang sudah diajarkan kepada peserta didik.

Drs. Kasmuji Raharja, M.Pd. (Donny)

“Sehingga ketika KM coba diterapkan oleh satuan pendidikan yang sudah memiliki kematangan kompetensi gurunya, otomatis pembelajaran akan lebih bervariasi, karena tidak sebatas ceramah dalam kelas. Melainkan pula, dibarengi praktik secara nyata. Begitupula dengan substansinya, penerjemahan pendekatan ilmiah antara K-13 maupun KM, memiliki tujuan yang sama yakni, menangkap pelbagai jenis kecerdasan peserta didik. Mulai dari verbal, kinestetik, dan sejenisnya,” jabar Kasmuji Raharja.

Di sisi lain, Kepala Disdikbud Kabupaten Jombang, Senen, S.Sos., M.Si. menilai, adanya KM sedikit memberikan titik terang atas budaya literasi dan capaian numerasi yang masih rendah. Apabila hal tersebut tidak segera teratasi melalui mekanisme perubahan di dunia pendidikan, otomatis berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang masih jauh diatas rata-rata.

Senen, S.Sos., M.Si. (Donny)

Senen mengurai dalam sambutan Webinar Nasional Implementasi Kurikulum Merdeka pada (4/8), “Perlu digarisbawahi, bahwa KM akan bermuara pada upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Lantas ini masih belum cukup bilamana hanya kurikulumnya saja yang terbaru, melainkan harus disertai kapasitas para tenaga kependidikannya. Dalam kerangka ini, guru mesti memperkaya referensi lewat belajar mandiri di pelbagai platform yang telah disediakan oleh Kemendikbudristek. Jika sudah membekali diri dengan segala literatur, maka sikap profesional akan tumbuh seiring dengan tugas yang diemban untuk meningkatkan daya belajar peserta didik.”

Sementara itu, dipaparkan oleh Guru Besar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. sewaktu dimintai pendapatnya lewat sambungan virtual via Google Meet pada (4/8). Jauh sebelum menyentuh ranah implementasi KM, harus dipisahkan antara jargon/penamaan dengan filosofi pendidikan.


Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. (ist)

“Dalam gebyar KM saat ini jangan sampai para pemilik otoritas di dunia pendidikan terjebak pada jargon Merdeka Belajar namun alpa terhadap nilai filsafat pendidikan. Sebab luhungnya pendidikan harus mencakup tiga hal yaitu memerdekakan, humanisasi, lalu penginsanan. Ketiganya saling berkelindan. Kemerdekaan ini mesti dilandasi dengan maksud yang jelas, sebagaimana kemudian dilanjutkan dengan memanusiakan manusia dengan prinsip kemandirian. Selanjutnya, usai dua aspek terlampaui maka hasil akhirnya adalah membentuk pola pikir positif nan konstruktif. Ini yang menjadi bagian terpenting dari pendidikan dari segala bentuk kurikulum. Sebab, secara keseluruhan, pendekatan teknis baik KM maupun kurikulum lainnya, hanya berbeda kerangka dan bungkusnya semata. Selebihnya rupa kurikulum yang ada hanya dibedakan menjadi dua, kurikulum berdasarkan materi dan kompetensi. Pun di dalam KM sendiri, kata kunci yang dapat diambil ialah kompetensi, dimana guru mesti menguasai teknik pembelajaran terbaru dengan model yang telah ditentukan,” tandas Djoko Saryono. ■ donny darmawan

Lebih baru Lebih lama