Seluruh jajaran pemeran drama kolosal Pertempuran Surabaya. (ist)


Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. - Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno.

SUMOBITO – Pagi itu terik matahari bersinar sangat cerah. Suasana tampak berbeda, para guru dan peserta didik yang saban hari berpakaian seragam rapi kini berubah mengenakan pakaian tradisional dan seragam pasukan perang ala masa penjajahan. Halaman satuan pendidikan pun juga disulap sedemikian rupa bak medan pertempuran.

Ternyata itu adalah salah satu siasat yang digagas segenap civitas akademika SDN Brudu Sumobito untuk melaksanakan pembelajaran sejarah melalui seni peran bertajuk “Drama Kolosal Pertempuran Surabaya. Tak tanggung-tanggung, untuk menyukseskan pagelaran tersebut sengaja menggandeng Komunitas Rumah Merdeka.

Ditemui disela kesibukannya, Kepala SDN Brudu Sumobito, Siti Maisaroh, S.Ag., S.Pd. menyampaikan bahwa setelah berhasil menjadi satuan pendidikan berpredikat Sekolah Penggerak, seakan mengharuskannya berpikir lebih kreatif dan inspiratif daripada sebelumnya. Tak terkecuali dalam pembelajaran sejarah. Apabila dilakukan hanya membaca buku atau berdasarkan penjelasan guru semata, maka akan dirasa kurang meresap di relung jiwa peserta didik.

Tak ketinggalan adegan permainan tradisional juga disuguhkan seperti egrang dan bakiak. Para peserta didik dan guru dengan natural bergaya tawar menawar hingga bercengkerama.

Siti Maisaroh yang dalam drama tersebut berperan sebagai masyarakat pembeli itu mengatakan, “Terlebih momen perayaan hari kemerdekaan harus pula diisi dengan kegiatan yang dapat menggugah rasa nasionalisme peserta didik. Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, hal ini juga setali dengan program pemerintah untuk menggaungkan profil pelajar pancasila. Berdasar hal tersebutlah, akhirnya memilih metode seni peran untuk belajar sejarah sekaligus merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia ke 77.”

Belum memiliki pengalaman dalam seni peran dan pertunjukan drama kolosal tak menciutkan niat para civitas akademika SDN Brudu Sumobito untuk tetap pada pendirian menggunakan metode pembelajaran yang lekat dengan dunia akting ini, papar Siti Maisaroh. Bersyukurnya memiliki partner pembina ekstrakurikuler pantomim yang juga sebagai sutradara pertunjukan.

Baca Juga: SDN Pojokrejo I Kesamben Terbitkan Semangat Belajar Melalui Jumat Pasaran

“Tak lupa pula berkoordinasi dengan wali peserta didik terkait properti yang harus dibawa, baju yang dikenakan juga harus diseleksi. Setelah pertunjukkan drama kolosal juga terdapat bazar makanan tradisional yang juga digagas sepenuhnya oleh wali peserta didik,” ungkapnya kepada Majalah Suara Pendidikan.

Pembina Ekstrakurikuler Pantomim SDN Brudu Sumobito sekaligus sebagai sutradara, M. Alfansuri. menyampaikan bahwa sebelum acara drama kolosal terdapat suguhan Tari Remo dan upacara berbahasa Jawa. Pertunjukkan drama kolosal ini akan membawakan judul Pertempuran Surabaya. Jenis seni peran yang digunakan adalah gaya realistik yang merupakan bentuk peran yang menekankan kemiripan dengan tokoh aslinya.

Peserta didik dan guru melakukan adegan perang. (ist)

“Jadi dalam memerankan gaya ini peserta didik dan guru tersebut harus mampu mendalami karakter agar bisa menampilkan kesan mirip seperti tokoh aslinya dalam suatu peristiwa atau kejadian. Misalnya ketika memerankan tokoh Pahlawan Nasional, Sutomo pada peristiwa perang di Surabaya,” ujar pria yang juga sebagai Founder Rumah Merdeka itu.

Sementara itu terkait teknis pagelaran Drama Kolosal Pertempuran Surabaya, dijelaskan oleh, Guru Pendidikan Diniyah SDN Brudu Sumobito, Sinta Kurnia Sari, S.Pd. bahwa telah mempersiapkan acara ini selama satu minggu. Seluruh guru, peserta didik hingga kepala satuan pendidikan telah ambil bagian peran tersendiri guna menyukseskan pertunjukkan.

Mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perang. (ist)

Sinta Kurnia Sari mengutarakan, “Untuk memudahkan pemahaman, pembagian peran disesuaikan dengan tingkatan kelas. Kelas rendah I, II, dan III memerankan masyarakat masa lampau yang berprofesi sebagai penjual dan pembeli. Sedangkan untuk kelas atas IV, V dan VI berperan sebagai penari bendera, pasukan pejuang arek-arek (Bahasa Jawa: anak-anak) Suroboyo, pasukan Belanda hingga tokoh Sutomo.”

Lebih lanjut Sinta Kurnia Sari merunutkan, menyaksikan pertunjukkan ini ibarat mengendarai mesin waktu yang mengajak untuk berkeliling ke masa lalu. Adegan diawali dengan kegiatan jual beli sayur dan buah ala pasar tradisional, para guru dan peserta didik terlihat menjiwai dengan pakaian adat kebaya dan kaos oblong. Tak ketinggalan adegan permainan tradisional juga disuguhkan seperti egrang dan bakiak. Para peserta didik dan guru dengan natural bergaya tawar menawar hingga bercengkerama.

Kegembiraan yang tergambar saat mendengarkan berita kemerdekaan. (ist)

Suasana ketentraman tersebut kian meriah dengan kedatangan salah satu peserta didik yang membawa kabar kemerdekaan dengan dibacakannya naskah proklamasi melalui sambungan radio, Sinta Kurnia Sari. Namun sayangnya hal itu tak berlangsung lama. Hadir pemuda yang penuh semangat bernama Sutomo yang mampu membakar semangat arek-arek Surabaya untuk tergerak melawan penjajah Belanda. Tak ketinggalan kejadian heroik saat Sutomo melangsungkan pidatonya yang membara.

Perempuan berjihab itu memungkasi bahwa adegan penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, hingga aksi perang tembak menembak pun tak terhindarkan. Bersenjatakan pistol laras panjang yang dibuat sendiri dari pelepah daun pisang para pasukan berhasil melumpuhkan para tentara Belanda. Rasa syukur setelah mampu menangpun dilakukan dengan penuh haru lantaran dilain sisi terdapat para pejuang yang harus rela kehilangan nyawa demi meraih kemerdekaan.

Reporter/Foto: Rabithah Maha Sukma/Istimewa
Lebih baru Lebih lama