Seperangkat Bonang Barung yang dimainkan Widji Astuty. (Donny)


WONOSALAM – Azan zuhur usai berkumandang, sekelompok ibu-ibu muda dan paruh baya berbondong-bondong memadati ruangan gamelan SDN Galengdowo I Wonosalam pada (13/8). Berbusana kebaya dengan pelbagai motif yang dibalut hijab, para ibu yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Galengdowo, nampak bersemangat memainkan gamelan serta mendendangkan aneka tembang jawa, mulai dari Caping Gunung, Lumbung Desa, dan Buto-Buto Galak.

Di hadapan mereka, berdiri perempuan berparas ayu berpawakan subur, sedang khidmat menyenandungkan Caping Gunung. Walakin nampak menjiwai, namun tak lupa gerak tangannya selalu sigap memberikan aba-aba kala nada harus berpindah, dari slendro ke pelog, begitu sebaliknya. Ia adalah Dra. Widji Astuty, M.Pd yang bertugas mengorkestrasi keseluruhan nada dan irama dari bonang, kendang, saron, gender, sampai gong. Selain itu pula, perempuan yang akrab disapa Bu Lurah ini turut didapuk sebagai ketua paguyuban seni, khususnya karawitan, bernama Lereng Anjasmoro.

Keputusannya untuk mengikutsertakan PKK Desa Galengdowo ke aktivitas kesenian di lingkup desa bukan tanpa alasan. Selain tujuannya untuk pelestarian seni musik tradisional.

“Sebelum terjun ke dunia seni musik tradisional, pada dasarnya saya gemar bernyanyi semenjak SMA. Meski hanya saya tempatkan sebatas hobi, namun perlahan dunia tarik suara ini membawa saya untuk menyelami pelbagai seni musik, mulai tradisional dan modern,” ungkap Widji Astuty mengawali cerita.

Selang berjalannya waktu, disamping profesinya sebagai guru di Kota Semarang, Jawa Tengah, tepatnya di tahun 2008 dan 2009 Widji Astuty sempat unjuk kebolehannya bernyanyi di TVRI Semarang dan Borobudur. Di dua stasiun televisi nasional itulah, ibu satu anak ini membawakan lagu bergenre Pop sampai Keroncong.

Baca Juga: Sedekah Desa Sudimoro, Kecamatan Megaluh Lekat dengan Cerita Dhamarwulan

Widji Astuty melanjutkan, “Pop dan Keroncong menjadi musik favorit saya sebab, unsurnya menyimpan vibrasi, kelembutan serta nuansa yang tentram. Kemudian, pasca tampil di TVRI Semarang dan Borobudur, tepatnya di tahun 2011 saya mesti kembali di tanah kelahiran dengan tetap bertugas sebagai seorang pengampu Mata Pelajaran Bahasa Inggris dan berstatus dipekerjakan di SMK YP 17 Pare, Kediri. Di waktu yang bersamaan pula, saya sempat gamang karena untuk musik keroncong disini baik peminat maupun infrastrukturnya masih minim, bahkan tidak ada. Oleh karenanya, saya putuskan untuk menekuni seni karawitan bersama anggota PKK Desa Galengdowo yang masih menjadi bagian dalam paguyuban seni Lereng Anjasmoro.”

Anggota Kelompok PKK Desa Galengdowo sedang berlatih karawitan. (Donny)

Menurut Widji Astuty, keputusannya untuk mengikutsertakan PKK Desa Galengdowo ke aktivitas kesenian di lingkup desa bukan tanpa alasan. Selain tujuannya untuk pelestarian seni musik tradisional, di sisi lain juga dapat digunakan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), bagi kaum perempuan agar berdaya dan memiliki keterampilan, terkhusus di bidang seni.

Widji Astuty unjuk kebolehannya dalam bernyanyi. (Donny)

“Semua ini dibuktikkan dengan konsistensi seluruh anggota PKK Desa Galengdowo yang senantiasa rutin berlatih karawitan saban hari sabtu. Kendati hanya seminggu sekali, setidaknya ini menjadi pembuktian bahwa perempuan juga memberi andil dalam membangun desa, meski tanpa menyumbangkan tenaga dan materinya. Terlebih jika aspek yang dikembangkan ialah sisi SDM, maka ini dapat diwariskan ke anak cucu Desa Galengdowo kelak,” tukas Widji Astuty.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama