Nampak depan bentuk kubah/atap rumah berbentuk joglo. (Donny)


DIWEK – Mendirikan sebuah bangunan selaiknya rumah, dalam tradisi nuswantara tentu banyak aspek yang mesti dilalui. Mulai keindahan arsitekturnya, fisik yang meliputi luas dan tinggi bangunan, sampai fungsi sosialnya. Hal tersebut memang erat kaitannya dalam tradisi mewariskan sesuatu yang berharga pada anak cucu di masa mendatang. Seperti rumah warisan milik Rudi Heri Santoso yang beralamatkan di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, tepatnya berlokasi di depan Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo.

Semakin tinggi jabatan yang diembannya, maka semakin banyak kayu jati penyangga di atap utamanya. Namun bagi kedudukan kepala desa, hanya memiliki tiga jumlah penyangga atap.

Kala dijumpai Majalah Suara Pendidikan pada (16/8) bapak empat orang anak ini menuturkan, bahwa rumah yang didirikan sejak era Pemerintahan Hindia-Belanda dan berdiri di atas lahan seluas 3.250 m² ini dahulunya milik buyutnya bernama Sukandar Sastro Prawirodirjo. Sukandar Sastro Prawirodirjo sendiri dulunya merupakan Kepala Desa Bulurejo pertama dan masyhur dikenang oleh masyarakat dengan sapaan Mbah Kandar. Rumah berciri atap joglo dengan tipe jompongan ini lambat laun diwariskan dan memiliki fungsi sosial di tiap zamannya.

Baca Juga: SDN Banjardowo II Kabuh Keterbatasan Jadi Motivasi Gaet Prestasi

“Sejak bapak sudah tidak menjadi Kepala Desa Bulurejo pada tahun 1990, maka bangunan dan lahan menjadi milik saya. Adapun seluruh cucu dari Sukandar Sastro Prawirodirjo seluruhnya menjadi kepala desa, termasuk bapak saya sendiri yang sudah meninggalkan tahta pada tahun 1990. Oleh karenanya, rumah ini dahulunya sering digunakan sekolah, kenduri, rapat desa, termasuk ada salah satu ruangan seluas dan selebar 4x3 meter bernama sakitan,” kenang Rudi Heri Santoso.

Salah satu bagian pendopo yang digunakan ruang kelas. (Donny)

Dahulunya sakitan difungsikan untuk rehabilitasi dan sanksi sosial bagi pelanggar norma masyarakat Desa Bulurejo dengan cara dijebloskan dalam keadaan terkurung sampai pelaku mengakui kekhilafannya. Selain itu hingga hari ini bagian sisi kiri dan kanan pendapa tetap dipakai untuk sebagian ruang kelas V A dan B Madrasah Ibtidaiyah Urwatul Wutsqo I Bulurejo Diwek.

Atap kayu jati yang masih utuh terawat. (Donny)

Rumah yang berisi lima ruang utama mulai dari pendapa, sakitan, pringgitan, omah, sampai dalem, dan di dominasi cat putih susu pada seluruh dindingnya ini masih nampak memancarkan kegagahan serta kekokohannya. Ini dibutikkan dengan seluruh tiang penyangga saka guru yang merupakan fondasi utama joglo masih dipertahankan keutuhan serta keasliannya. Begitupula keseluruhan jangkung pintu, jendela setinggi ± 4 meter maupun atap jati yang berketinggian sama di ruang dalem, belum sekalipun tersentuh rehab maupun pergantian materi bangunan anyar.

Ruang sakitan di sudut kiri rumah. (Donny)

Rudi Heri Santoso memungkasi, “Atap joglo setinggi 8 meter dengan tiangnya yang berjumlah 10 buah penyangga di dua sisinya berstruktur rongrongan joglo dan tumpang sari luar dalam ini, menurut penuturan leluhur terdahulu merupakan status sosial penghuninya. Semakin tinggi jabatan yang diembannya, maka semakin banyak kayu jati penyangga di atap utamanya. Namun bagi kedudukan kepala desa, hanya memiliki tiga jumlah penyangga atap.”

Reporter/Foto: Donny Darmawan


Pilar atas yang menyimbolkan kedudukan status si penghuninya. (Donny)

Sang pewaris kelima, Rudi Heri Santoso. (Donny)

Lebih baru Lebih lama