Ilustrasi bullying. (ist)


NASIONAL - Beberapa hari belakangan, netizen dikejutkan dengan dua video yang menunjukkan tindakan kekerasan fisik dilakukan oleh peserta didik remaja. Pertama, peserta didik berseragam menendang seorang nenek di Tapanuli Selatan dan kedua, seorang peserta didik menendang temannya sendiri di Nganjuk. Hal tersebut mendorong aktivis pendidikan sekaligus ketua Kampus Pemimpin Merdeka, Rizqy Rahmat Hani, angkat bicara.

Gerakan melawan kekerasan ini bukan sesuatu yang parsial terpisah dari pembelajaran. Maka jika ingin ini terintegrasi dalam budaya, penting bagi sekolah memberikan pembelajaran pada peserta didik yang sesuai isu sekitar.

Dia menegaskan, sekolah punya urgensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan karakter agar hal seperti ini tidak terulang kembali. Pendidikan karakter tidak bisa dikembangkan hanya dengan mengerjakan soal dan membuat poster no-bullying. Guru dan orangtua berperan dalam pembentukan karakter anak, di mana anak akan lebih bisa untuk mencontoh ketimbang hanya diberikan soal atau nasihat.

Hati-hati, Peserta Didik Bisa Belajar Kekerasan dari Guru dan Orangtua

Penyebab maraknya tindakan kekerasan oleh remaja sangat kompleks. Rizqy Rahmat Hani mengungkapkan, sekolah juga ambil peran melanggengkan budaya tersebut. Guru bisa jadi tanpa sadar melakukan praktik kekerasan dalam keseharian mengajar. Seperti misalnya ketika peserta didik terlambat mendapat hukuman push up atau saat peserta didik tidak bisa mengerjakan soal akan dicemooh di depan kelas. Kasus kekerasan di sekolah seperti lingkaran setan, mereka melihat praktik kuasa seakan hal yang lumrah dan biasa.

Baca Juga: Outing Class Memberikan Pengalaman Berharga

Menciptakan Ruang Kelas Aman dan Nyaman

Rizqy Rahmat Hani menyampaikan, budaya sekolah anti kekerasan harus dimulai dari budaya positif di kelas. Sudah saatnya guru menciptakan kelas yang aman dan nyaman bagi peserta didik. Tidak ada lagi kekerasan, baik fisik maupun verbal. Seringkali guru beralasan hal tersebut dilakukan demi meningkatkan kedisiplinan. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak benar. Kedisiplinan muncul dari rasa tanggung jawab. Alih-alih aturan yang bersifat searah, buatlah kesepakatan kelas. Ini akan menguatkan nilai peduli, saling menghormati, dan tanggung jawab atas apa yang mereka turut sepakati.

Journaling Bisa Jadi Solusi Berdasarkan Pengalaman

Rizqy Rahmat Hani saat menjadi guru dan cerita praktik rekan-rekannya, aktivitas journaling bisa membantu peserta didik untuk meregulasi emosinya. Cara ini terbukti efektif untuk peserta didik jenjang SMP dan SMA. Melalui aktivitas tersebut, murid lebih dapat memahami apa yang sedang dirasakannya. Guru juga bisa mengetahui kondisi sang peserta didik, termasuk jika sedang mengalami permasalahan dengan teman atau keluarga. Seringkali perundung adalah peserta didik yang mengalami masalah keluarga. Dengan mengetahui apa yang sedang dialami peserta didik, guru bisa mencegah tindakan kekerasan yang bisa saja akan dilakukannya.

Ajak Peserta Didik Belajar dari Isu Sekitar

Rizqy Rahmat Hani juga menyampaikan pentingnya sekolah memberikan pembelajaran pada peserta didik yang sesuai dengan isu sekitar. Gerakan melawan kekerasan ini bukan sesuatu yang parsial terpisah dari pembelajaran. Maka jika ingin ini terintegrasi dalam budaya, penting bagi sekolah memberikan pembelajaran pada peserta didik yang sesuai isu sekitar. Contohnya mendiskusikan isu kekerasan yang sedang viral ini bersama peserta didik. Guru bisa mulai tanyakan, mengapa seseorang melakukan kekerasan serta apa yang mereka rasakan ketika mendengar berita tersebut.

Dari pertanyaan yang esensial, akan bisa mengalir diskusi yang bermakna. Rizqy Rahmat Hani mengungkapkan ini yang juga yang sedang kami perjuangkan di Kampus Pemimpin Merdeka. Kami membantu sekolah-sekolah, bagaimana sih menerapkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Karena ini juga sesuai arahan Kemendikbud Ristek untuk sekolah-sekolah, pengembangan karakter mendapatkan porsi yang besar.


Sumber/Rewrite: kompas.com/Tiyas Aprilia

Lebih baru Lebih lama