Para peserta yang hadir saat terlibat pendiskusian pada pertemuan sesi kedua. (Donny)


DIWEK – Sebagai salah satu unsur pembangun kebudayaan Indonesia, pesantren tak hanya lekat dengan pendidikan keagamaan baik formal maupun non-formal. Lebih dari itu, jika ditarik lewat periodesasi dalam disiplin ilmu sejarah, pesantren juga menjadi salah satu lokus produksi kesusastraan lama yang sarat akan petuah dalam menjalankan praktik kehidupan beragama.

Namun, seiring berjalan waktu, kesustraan pesantren seolah tersuruk di bawah karpet sejarah dan belum ditemukan bentuk bangunan Sastra Pesantren dalam kaidah ilmu Sastra. Oleh karenanya guna menemukannnya, PW Lesbumi Nahdatul Ulama yang bekerja sama dengan Pondok Pesantren Tebuireng pada (2-4/11), menghelat serangkaian kegiatan bertema Simposium Sastra Pesantren.

Sastra Pesantren sendiri memiliki keunikan yang bila di ibaratkan bak lapangan tanpa pagar. Ini mengacu pada struktur transformatif dan linguistiknya yang lentur dan fleksibel.

Bertempat di Aula Lantai 1, Gedung K.H. Muhammad Yusuf Hasyim, Pondok Pesantren Tebuireng, acara yang diikuti serta dihadiri oleh pelbagai kalangan mulai dari jajaran sastrawan, novelis, esais, sampai akademisi perguruan tinggi ini terbagi menjadi empat sesi diskusi. Keempat sesi tersebut dihelat dengan tema pendiskusian yang berbeda-beda. Pertama, mendedah definisi, batasan, dan kandungan Sastra Pesantren. Kedua, mengulas filsafat, daya gerak, dan kesadaran diri Sastra Pesantren. Ketiga, mengupas tradisi, antropologi, dan genealogi Sastra Pesantren. Terakhir, pada sesi keempat forum menelaah peran ulama dan sejarah serta politik kebudayaan Sastra Pesantren.

Ditemui disela sesi kedua yang berlangsung pada Sabtu (3/11), Ketua Panitia Pelaksana Simposium Sastra Pesantren, Mashuri, menjelaskan serangkaian sesi tersebut sengaja dihelat dengan tujuan memperluas seraya memperdalam kajian Sastra Pesantren secara spesifik. Sebab, dalam perkembangannya, tidak sedikit pesantren yang turut melahirkan sastrawan yang menghiasi kancah percaturan dunia literasi nasional sampai internasional.

Baca Juga: SMP Negeri 1 Jombang Dibalik Layar Penyaji Terbaik Pawai Budaya Jombang 2022

“Tentunya hal tersebut mesti diselaraskan dengan diskursus seraya bentuk capaian Sastra Pesantren saat ini dan kedepannya yang khas. Sehingga jika mendalami Sastra Pesantren tak lagi terbatas pada langgam pengajaran berbentuk nazam dan selingkarya. Melainkan juga perlu dirumuskan mengenai capaian Sastra Pesantren saat ini yang mana dalam dinamikanya terus berkembang, dan melahirkan para sastrawan baru. Oleh karenanya, serangkaian hasil dari Simposium Sastra Pesantren ini lantas akan dibukukan dan dapat dijadikan referensi mengenai Sastra Pesantren oleh siapa, dimana dan kapan saja,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua PW Lesbumi Nahdatul Ulama Jawa Timur ini.

Sementara itu, di dalam forum sebagai salah satu narasumber, Dr. Aguk Irawan, MN, mengurai bahwa munculnya Sastra Pesantren ini sudah ada sejak abad ke-7. Dimana pada periode tersebut, pesantren menjadi persemaian budaya, dan sastra baik bentuk lisan maupun tertulis, digunakan untuk kepentingan masyarakat terutama memuat kepentingan sarana dakwah.



“Maka, meminjam istilah Gus Dur, bahwa Pesantren memang tak lekat pada satu identitas. Melainkan terdiri dari beberapa aspek budaya, lantas inilah yang juga menjadikan Pesantren sebagai salah satu sub-kebudayaan Nusantara,” papar penulis novel biografi Gus Dur berjudul Peci Miring ini.

Dilanjutkan oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof. Dr. Faruk, S.U. menjelaskan, ranah kehidupan pesantren memang mencintrakan gaya sastranya sendiri. Sehingga akar spiritualisme, humanisme menjadi ciri khasnya.


Pemaparan dari jajaran pemateri. (Donny)

Terakhir, Guru Besar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. menuturkan, Sastra Pesantren sendiri memiliki keunikan yang bila di ibaratkan bak lapangan tanpa pagar. Ini mengacu pada struktur transformatif dan linguistiknya yang lentur dan fleksibel.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama