Ilustrasi peserta didik belajar. (Ist)


Rachmat Hidayat, M.Pd.*

Menyoal menghitung dalam matematika kita cenderung menggunakan cara yang sama. Misalnya saja istilah untuk, "menyimpan" dan "meminjam" nyaris selalu digunakan. Oleh karenanya sering kali proses menghitung itu hanya melibatkan pemahaman prosedural dan jarang dikaitkan dengan pemahaman konseptual. Kita seringkali mengikuti proses seperti penjumlahan atau perkalian bersusun ke bawah tanpa pernah menanyakan alasannya mengapa prosedur itu benar.

Di sekolah salah satu kompetensi wajib yang harus dikuasai oleh peserta didik bahkan sejak SD adalah prosedur hitung bersusun ke bawah. Saya tak hendak menyampaikan bahwa kompetensi ini tidak penting. Sebab sampai saat ini pun prosedur itu yang memang dirasa paling efektif untuk nyaris semua orang. Hanya saja prosedur itu membosankan. Tidak ada kesenangan di dalamnya. Kita harus mengikuti langkah baku tanpa kreativitas. Seolah semua orang harus melakukan dengan cara yang sama.

Baca Juga: Ternyata Ada Batasan Maksimal Makan Mie Instan dalam Sebulan

Yang sering tidak kita sadari, sebenarnya manusia (bahkan beberapa hewan) memiliki kemampuan khusus untuk peka terhadap bilangan-bilangan. Kemampuan ini biasa disebut number sense. Sayangnya entah karena istilahnya yang tidak terkenal atau alasan lainnya, number sense jarang diketahui oleh guru matematika. Saya pernah menulis tentang number sense secara panjang lebar di laman facebook saya.

Hari ini saya ingin menceritakan kemampuan number sense yang saya temukan pada seorang anak yang selama ini dipandang sebelah mata.

Sebagai guru, khususnya guru matematika apa yang anda lakukan kalau menemukan peserta didik anda menghitung dengan cara yang berbeda? Katakanlah cara itu tidak efektif? Saya dulu sering memaksa agar peserta didik saya mengikuti cara saya. Entah karena lebih cepat atau lebih teliti hasilnya. Padahal bisa jadi ada keunikan pada cara yang dilakukan peserta didik.



Tahun ini saya baru dua kali mengajar di satu kelas di sekolah saya. Bagi sebagian besar guru kelas ini adalah kelas yang butuh banyak tenaga dan perhatian. Nah di kelas ini ada satu peserta didik yang paling butuh banyak perhatian. Konon menurut beberapa guru dia tidak pernah mau mencatat atau mengerjakan tugas. Anda pasti tahu peserta didik dan kelas yang bagaimana yg saya maksudkan. Saya tidak mau berkata negatif terhadap peserta didik dan kelas ini sebagaimana yg lainnya. Saya tetap pada pemikiran saya bahwa semua peserta didik adalah pembelajar sejati.

Di tengah-tengah belajar, peserta didik saya ini menanyakan pertanyaan yang luar biasa. Dia mengangkat tangannya sembari bertanya, "Pak bilangan terbesar itu berapa?". Bagi saya untuk anak seusianya pertanyaan ini jelas luar biasa. Sebab bisa jadi kita dulu belajar matematika tanpa pernah sedikit pun penasaran dengan bilangan terbesar. Kesempatan ini saya manfaatkan sebaik-baiknya. Saya buat "taruhan" dengan dia.

Taruhannya seperti ini: saya akan berikan jam tangan saya andai kata dia bisa menyebutkan bilangan yg lebih besar dari bilangan saya dan saya tak bisa menyebutkan bilangan tandingan lain yang lebih besar lagi. Saya mulai menyebutkan bilangan 1000, dia menyebutkan 2000. Untuk menggodanya saya menyebutkan 2001. Lalu dia menyebutkan satu juta, kemudian saya balas dengan satu juta satu. Begitu seterusnya hingga berapa pun bilangan yang saya sebutkan, saya selalu bisa menyebutkan bilangan yang lebih besar dengan hanya menambahkan dengan 1. Pada akhirnya dia menyebut satu triliun dan saya balas satu triliun 1.

Setelah 1 triliun dia tidak bisa menyebutkan lambang bilangannya. Yaps kebanyakan orang hanya tahunya sampai triliun. Tampaknya banyak orang lebih suka menggunakan istilah 1000 triliun dibandingkan 1 quadriliun.

Suasana sejenak hening. Saya tawarkan taruhan itu ke peserta didik lain di kelas. Tak lama kemudian ada yang angkat tangan.

Peserta didik di ujung lain menjawab, "sebuah bilangan yang berisi begitu banyak angka 9". Saya tanyakan kepada dia, berapa banyak angka 9 yg dia maksud. Dia menjawab, "banyak pak mungkin 1 juta digit berisi angka 9". Nah ini, saya dengan mudah membalas, "berarti kalau saya punya bilangan yang terdiri dari satu juta satu angka 9. Jadi bilangan saya lebih besar". Dia menyadari bahwa bilangannya kalah besar.

Suasana hening lagi. Beberapa dari mereka berbisik dengan temannya mendiskusikan bagaimana cara mengalahkan saya. Lalu terdengar suara, "tak terhingga, Pak". Wah ini jawaban bagus sebenarnya tapi, agar tak melenceng pembahasannya, saya beritahukan sekilas bahwa tak hingga bukanlah sebuah bilangan.

Sampai pada akhirnya ada yang teriak, "Pak, mau sampai kapan". Maksudnya taruhan kami nggak akan ada ujungnya. Kesempatan ini saya gunakan untuk menjelaskan bahwa tidak ada bilangan terbesar. Sebab bilangan itu tidak akan ada ujungnya. Oleh sebab itu pada garis bilangan terdapat tanda anak panah yang melesat ke kiri (negatif) dan ke kanan (positif) tanpa ujung.

Dari percobaan taruhan itu saya puas. Percobaan itu setidaknya membuat mereka sadar bahwa tidak ada bilangan terbesar. Pun begitu tidak ada bilangan terkecil. Sembari agak filosofis saya menjelaskan hikmah apa yang bisa mereka pelajari dari fenomena itu. Misalnya saya tunjukkan kalau bilangan saja tak terbatas lantas bagaimana dengan kekuasaan Tuhan.

Singkat cerita pelajaran pun saya mulai lagi. Dan di akhir sesi, peserta didik saya yang pertama tadi, yang memulai pertanyaan tersebut, mengumpulkan pekerjaannya sambil berujar, "Pak bertahun-tahun saya belajar matematika, baru kali ini saya mengerjakan sendiri nggak nyontoh". Seketika saya merinding. Apalagi yang paling membahagiakan dari mengajar selain mengetahui bahwa peserta didik kita mau belajar secara mandiri.

Saya liat hasil pekerjaannya. Ada beberapa jawaban yang meleset dari yang seharusnya. Pada salah satu langkah dia menjawab 9x7=64. Wow, alangkah senangnya saya ketika mengetahui kesalahan ini. Yaps saya senang, sebab ada bahan untuk kami belajar lagi dan diskusikan yang semakin meneguhkan saya bahwa peserta didik saya ini punya number sense yg luar biasa. Sayangnya bel berbunyi panjang, begitu pun tulisan ini juga sudah cukup panjang.

*) Kepala SMP Al Furqon MQ

Lebih baru Lebih lama