NGUSIKAN – Pada edisi perdana rubrik Berdaya kali ini, Majalah Suara Pendidikan mengulas usaha pembuatan Blangkon Udeng di Telatah Tepi Utara Brantas, yang diprakasai oleh Kepala SDN Ketapang Kuning Ngusikan, Muliadi, S.Pd.
Baca Juga : Lingkungan Adalah Sumber Moderasi Beragama
Dihubungi via WhatsApp pada (16/2/2024) lalu, Muliadi mengungkapkan, usaha kriyanya sudah berjalan lama. Tepatnya sejak era 2006-2007 silam.
Muliadi bersama Blangkon Udengnya. (ist) |
“Mulai
tertarik dengan pembuatan Blangkon Udeng ini, ketika saya selesai mengikuti
pelatihan Remo Munali untuk Rekor Muri tingkat Jawa Timur di antara tahun
2006-2007. Pokoknya tahun segitu, saya juga lupa persisnya kapan,” beber
Muliadi.
Muliadi yang saat itu dekat dengan kesenian Remo, akhirnya mendapat sebuah ilham. Sepanjang pengalaman serta pengamatannya, atribut Remo waktu belum banyak yang menjangkau.
Sedangkan
di satu sisi, pada beberapa kegiatan seni maupun kebudayaan busana Remo banyak
diminati, serta belum banyak produsennya. Pun, jika harus sewa, biaya yang
dikeluarkan harus merogoh kocek dahulu.
“Nah,
akhirnya saya tergerak untuk membuat busana Remo sesudah mengikuti pelatihan
itu. Awalnya masih pola yang sederhana. Tetapi kelamaan ketika melihat
busananya saat dipentaskan masih ada yang kurang, maka saya detailkan. Dari
sinilah kemudian, banyak teman teman guru mengetahui dan banyak yang menyukai
hasilnya. Walhasil saya pun mengembangkannya dengan Udeng,” beber Muliadi.
Baca Juga : ChatGpt : Cepat Tak Selalu Tepat
Pertama
kali membuat Udeng, Muliadi tak sembarangan memprosesnya. Diakuinya, studi
banding ke SDN Carangwulung I Wonosalam turut ditempuh untuk menilik motif
Udeng dan baju adat yang diterapkan di SDN Carangwulung I Wonosalam, sebelum
adanya program Kamis Budaya seperti saat ini.
Muliadi Membuat Motif Blangkon Udengnya (ist) |
Muliadi
menambahkan, “Hasilnya, Udeng itu saya kombinasi dalam bentuk Blangkon.
Istilahnya Blangkon Udeng Jawa Timuran. Kenapa begitu ? karena jika Udeng kain
anak-anak masih belum praktis. Kemudian juga untuk Blangkon masih banyak
berbahan kertas di lem, dan tidak awet karena tidak bisa dicuci. Alhamdulillah
sambutan pasar, khususnya dari teman teman guru cukup positif. Pesanan mulai
banyak dan berjalan sampai hari ini.”
Disinggung
mengenai asal-usul keterampilannya dalam menjahit, Muliadi berkisah bahwa ilmu
menjahit di sesap dari ibunya, yang dahulu seorang penjahit. Menariknya, sewaktu
menempuh pendidikan SPG, Muliadi juga banyak dipercaya rekannya untuk membuat
dan jasa jahit busana.
Blangkon Udeng Karya Muliadi.
(ist)
“Syukur, sampai saat ini ilmu dari ibu masih saya teruskan. Di luar jam dinas, saya bisa memproduksi 10-15 Udeng Blangkon Jawa Timuran dengan dibantu istri. Untuk harganya, per biji 35 ribu, tapi kalau bawa sendiri kain dan hanya jasa jahit, cukup 15-20 ribu, melihat motif dan polanya. Pada dasarnya semua saya jalani dengan motivasi turut melestarikan corak budaya di dunia pendidikan, jadi kalau ditanya untung, ya per buahnya saya mematok bati 10 ribu saja. Itu sudah cukup. Karena bagi saya yang terpenting ialah, membantu sekolah untuk mendapat atribut budaya dan seni ini dengan harga terjangkau, namun kualitasnya terjamin,” tandas Muliadi. ■ donny darmawan