JOMBANG – Dalam sejarah
dunia, perkembangan teknologi merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Mulai
masa pra sejarah yang mana teknologinya masih berupa alat untuk berburu dan
meramu, lalu hingga era kiwari saat ini, kebutuhan manusia terhadap teknologi
telah berkembang pesat. Sedari jenis, fungsi, hingga fiturnya terutama di
lingkup teknologi digital.
Sejurus
itu pula ungkapan dunia dalam genggaman kiranya bukan sesuatu yang berlebihan
untuk saat ini. Pada data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia yang
terlampir dalam laman kominfo.go.id,
telah tercatat sebanyak 215,63 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan
layanan internet sepanjang tahun 2022-2023.
Baca Juga : 47 Domain Layanan Kemendikbudristek Alami Gangguan
Jumlah tersebut mengalami kenaikan persentase 2,67 persen, dibanding periode 2021-2022 yang mencatatkan keseluruhan pengguna layanan internet di Indonesia telah diakses sebanyak 210,03 juta penduduk.
Merunut
data ini, tentu kita telah mendapatkan gambaran konkret ihwal layanan internet
sebagai bentuk perkembangan teknologi digital telah menjadi kebutuhan pokok
yang menyokong aspek sosial, budaya, ekonomi suatu masyarakat hingga perkembangan
suatu negara.
Kondisi
hari ini pun demikian halnya. Lahirnya Artificial Intelligence (AI) sebagai
salah satu diaspora teknologi digital banyak merubah pola konsumsi informasi
maupun kebutuhan dunia maya sejenis. Ditarik mundur pada satu dekade silam,
adanya internet dan gawai belum banyak dilengkapi peramban serta fitur yang
cukup membantu proses kreatif terhadap input
dan output di dunia digital.
Baca Juga : Tahu Campur Mas Fai Cocok Jadikan Santap Siang
Namun,
lain ladang lain belalang. Lain dulu lain sekarang. Tak sebatas dalam
genggaman, melainkan sekali sentuh dan ucap, AI ibarat kantong ajaib doraemon
yang siap memberikan apa saja yang kita inginkan dan butuhkan di dunia digital.
Secara global berdasarkan survei yang dilakukan Ipsos, sebuah lembaga survei spesialis riset pasar global dan opini publik, disebutkan bahwa Indonesia memiliki tingkat optimisme yang tinggi dalam menyambut kehadiran AI.
Sebagaimana
data survei yang terangkum databoks.katadata.co.id,
Ipsos merincikan, dalam survei yang dilakukan pada periode 26 Mei sampai 9
Juni, tersebar di 31 negara dan melibatkan sebanyak 22.816 responden, optimisme
Indonesia dalam mengelola serta memanfaatkan AI terpresentase sebanyak 78 %.
Angka tersebut dihimpun berdasarkan golongan responden dari usia 21-74 tahun, dengan pelbagai karakteristik sosial ekonomi dan pendidikannya. Baik urban, terdidik maupun sejahtera. Data Ipsos seputar AI di Indonesia memang cukup menarik.
Baca Juga : Menyelami AI di Dunia Pendidikan
Pasalnya
78% optimisme yang ada, melampaui angka optimisme beberapa negara maju seperti Thailand
74%, Amerika dan Perancis 37%, serta Swedia maupun Kanada berturut di 38-39%.
Namun
perlu diingat, tingginya persentase optimisme tersebut bukan berarti kedepannya
untuk tata kelola dan pemanfaatan AI tidak dibuntuti persoalan yang ada. Sebagaimana
dalam laporan wawancara khusus tirto.id
bersama Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),
Semuel Abrijani Pangerapan, bertajuk Gen
AI di Koridor Kekuasaan, Sampai Mana Kesiapan Indonesia ? yang terpublikasi
pada 10 November 2023 lalu, ditemukan masih banyak problematika digital, khusus
keamanan data pribadi yang masih lemah perlindungannya di Indonesia.
![]() |
Penggunan AI. (Donny) |
Laporan
tirto.id membeberkan, sedari tahun
2019 hingga 2023 telah terjadi 112 dugaan pelanggaran penggunaan data pribadi. Tiga
kasus di tahun 2019, 21 kasus di tahun 2020, 20 kasus di tahun 2021, 35 kasus
di tahun 2022, dan terakhir 33 kasus di tahun 2023.
Lebih
terperinci 99 diantaranya kasus kebocoran data pribadi, 3 kasus pengumuman data
pribadi, 3 kasus pengungkapan data pribadi kepada pihak yang tidak sah, 2 kasus
pengumpulan data pribadi dan 5 kasus sejenis. Lalu 76 kasus merupakan
Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) swasta, dan 36 kasus PSE publik.
Merespon
fenomena gunung es tersebut, Semuel Abrijani Pangerapan membeberkan bahwa dalam
konteks hadirnya AI, seluruh negara memang tidak memiliki kesiapan khusus dalam
menghadapi tantangannya. Seperti dampak negatif yang ditimbulkan maraknya
kebocoran data pribadi beserta penyalahgunaannya.
Semuel Abrijani Pangerapan
berpendapat, AI tetaplah produk manusia yang tertuang dalam suatu algoritma,
lantas dijalankan oleh mesin. Sebab itu pula, dalam praksinya banyak terdapat
sisi plus dan minusnya.
“Sebagai
contoh di Kominfo sendiri, AI sudah dijalankan untuk memfilter segala konten
negatif. Mulai rupa pornografi, judi, sampai konten ekstrimis. Dalam rasio
kerjanya, 93% dilakukan AI, sedangkan 7
% masih menggunakan pekerja. Pekerja tetap kami gunakan sebab dalam kebutuhan
filter AI di koridor konten yang digunakan ialah bahasa, jadi untuk memblokir
konten negatif yang kita gunakan kata kuncinya. Sehingga validasi tetap kami
lakukan tanpa AI untuk menambal celah penyebaran konten negatif,” ujar Semuel
Abrijani Pangerapan.
Baca Juga : Cerita Sukses Drama ABK
Lebih
lanjut, Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan, penyikapan terkait tantangan
dalam menghadapi AI sendiri terletak pada paradigma human centris. Dimana pusat kontrol harus berada di tangan manusia,
dengan ini pula AI akan tetap membantu kerja manusia dan bukan untuk
menggantikan manusia.
Tantangan AI di Dunia Pendidikan
Dalam sebuah opini yang terbit di Jawa Pos (20/5/2023) berjudul Teknologi AI, Mungkinkah Menjadi Artificial Imagination? Paksi Raras Alit sang penulis yang juga pegiat literasi khususnya pelestarian Bahasa Jawa, berpendapat bahwa hadirnya ChatGPT sebagai salah satu produk AI yang paling jamak digunakan di dunia akademik memang dapat memunculkan ruang penyusupan informasi palsu. Dampak ini tentu berakar dari siapa yang ada di balik layar pemrogramannya dan seperti apa kepentingannya.
![]() |
Salah Satu Platform AI. (Donny) |
“Terlebih,
masyarakat kita hari ini terlanjur malas untuk memverifikasi sumber informasi
yang akurat, walhasil limpahan informasi yang cepat dapat dimanfaatkan oleh
sistem dengan agenda serta tujuan tertentu,” terang Paksi Raras Alit.
Imbas
ChatGPT yang cepat menghasilkan informasi secara cepat namun kurang akurat,
juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Pembinaan SD, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Jombang, Rhendra Kusuma, S.Kom. Menurutnya, dalam dunia
akademik informasi hasil ChatGPT tidak bisa dijadikan sumber yang valid.
![]() |
Rhendra Kusuma. (Donny) |
Rhendra Kusuma membeberkan, “Minus dari ChatGPT adalah, tidak dapat memberikan akurasi informasi yang kita butuhkan. Tanpa keterangan sumber dan data yang jelas, ChatGPT dapat menjadi boomerang bagi kita yang terlanjur dimanjakan kemudahan akses digital. Pasalnya, bila informasi ChatGPT kita gunakan untuk naskah akademik, maka banyak aspek yang dicederai. Baik orisinalitas karya, keakuratan data, serta rawannya plagiasi. Di samping ini pula, hal terpenting dalam mengelola AI sebagai alat bantu adalah jangan sampai menjadi sebuah candu digital yang mematikan rasa dan cipta kreativitas kita. Oleh karenanya, gunakan AI sebatas referensi semata dan bukan satu jalan keluar untuk menghasilkan karya akademik, terlebih di dunia pendidikan.” ■ donny darmawan