KUDU - Nusantara memang menyimpan kekayaan kearifan yang khas. Mulai dari keragaman bahasa, busana, serta rupa tradisi yang menjadikan tanah air ini selalu mampu menyuguhkan sesuatu yang menarik dan mengundang simpatik untuk tidak sekedar dipandang, tetapi juga dikaji, sebagai khasanah yang kaya nilai bagi tiap generasi.
Kemudian, sewaktu memasuki bulan Muharram tiba, Bubur Suro yang terbuat dari bahan biji bijian menjadi sajian pada acara kenduri dalam menyambut Tahun Baru Hijriyah. Saatnya bulan Maulud/Rabiul Awal datang, masih banyak dijumpai tradisi Mbuwak Takir atau Larung Takir yang dilakukan guna memperingati Maulid atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Siswa-Siswi SDN Kepuhrejo I Kudu
Saat Membuat Takir
(ist)
Untuk yang terakhir, pada Selasa (17/9) kemarin, SDN Kepuhrejo I Kudu telah melaksanakan konsep Maulid Nabi Muhammad SAW dengan Larung Takir. Tentu, tujuannya tiada lain untuk mengenalkan, menjaga, menanamkan, serta merawat nilai tradisi dalam Larung Takir kepada siswa-siswi, sebagai bagian dari pendidikan karakter, juga memaknai kegiatan literasi yang memakai simbol kearifan lokal.
Baca Juga : Sinau Literasi Keuangan Itu Menyenangkan
Agaknya tradisi Mbuwak Takir dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sangat layak untuk digali dan dikaji secara historis maupun falsafahnya. Serta diserap nilai simbolis dari Takir ini sendiri.
Sepemahaman penulis, Takir ialah wadah yang terbuat dari lembaran daun pisang. Cara pembuatannya, daun pisang muda dipola berbentuk balok segi empat dengan bagian atas terbuka dengan mengaitkan ujung ujungnya dan dikunci dengan menyematkan biting yang terbuat dari bambu dan juga bisa dengan lidi dari daun kelapa.
Mengapa
daun pisang yang diplih sebagai bahan, dan bukan daun yang lainnya semisal daun
jati ?. Tentu ini ada alasan tersendiri. Sebab, lembar daun yang
lebar dan panjang juga memungkinkan satu lajung daun bisa dihasilkan lebih banyak takir. Dan, pemilihan daun pisang untuk membuat takir
pun tidak asal.
Pembagia Takir kepada Masyarakat
oleh Siswa-Siswi SDN Kepuhrejo I Kudu
(ist)
Daun
pisang pun penamaanya berbeda. Yang di tengah bagian atas kuncup daun yang
masih berwarna kekuningan dinamakan pupus. Bila dimaknai secara filosofis, artinya manusia harus senantiasa bisa mupus. Hatinya
sumeleh, dalam menerima semua kehendak yang Maha Kuasa, sanggup menerima
dengan ikhlas bahwa semua kejadian dan kenyataan tidak akan terjadi selain
dengan kuasa Sang Pencipta.
Berlanjut, ujungan/lajung daun pisang yang sudah berwarna hijau tua, juga mempunyai makna bahwa kita mestu ingat penghujung dari tujuan semua peran yang dilakoni manusia dalam panggung kehidupan ini adalah penghambaan kepada Allah SWT.
Tentu alasan utama diciptakan manusia dan jin adalah sebagai hamba Allah. Sehingga jelas, apa pun yang disandang dalam kehidupan, derajat, pangkat dan gelar apapun, semuanya hendaknya difungsikan semata sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
Lalu apa sebenarnya makna Larung Takir ini sendiri ?
Takir yang Ditunjukkan oleh salah satu Siswi
SDN Kepuhrejo I Kudu.
(ist)
Sebutan untuk takir itu sendiri konon berasal dari tata dan pikir. Istilah ini mempunyai pesan bahwa hendaknya manusia sebagai makhluk yang dibekali akal dan menjadi pembeda utama dengan makhluk yang lainnya. Potensi akal inilah yang selanjutnya bila di tata dengan pola pikir mindset yang baik dan mempunyai tujuan ter arah, agar menjadikan manusia itu sendiri sebagai pejuang bagi dirinya.
Terakhir, Larung Takir ini juga dibarengi dengan menaruh beberapa jenis bunga pada sisi jalan di depan rumah masing - masing. Penting untuk diingat bahwa memandang tradisi ini bukan terkait klenik dan mitos. Tetapi Larung Takir dengan di isi kembang, mempunyai pesan nilai moral bahwa di setiap manusia dalam menapaki setiap perjalanan kehidupan harus meninggalkan jejak tilas yang harum di setiap perjalanan hidup yang dilalui.
Penulis : Guru Pendidikan Agama Islam, SDN Kepuhrejo I Kudu, Hartono, S.Pd.
*Tulisan telah disunting oleh Redaksi Majalah Suara Pendidikan Untuk Penyesuaian Sistematika Penulisan