MOJOWARNO - Sebuah karya historiografi (karya tulis sejarah) memang mengandung banyak nilai di dalamnya. Tak hanya seputar kisah dari dokumen atau arsip sebuah peristiwa, melainkan juga menjadi penanda denyut sebuah peradaban dalam kurun periode tertentu.
![]() |
GKJW Mojowarno 1894. (Arsip Delpher) |
Sebagaimana yang dikisahkan oleh Fendy Suhartanto, S.Pd. dalam bukunya yang berjudul Mojowarno dan Komunitas Multikultural 1864-1931. Pada Jumat malam (2/2/2024) di Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Jombang, buku setebal 265 halaman dan sudah dicetak kedua kalinya pada tahun 2023 lalu oleh Penerbit Boenga Ketjil, turut didiskusikan oleh Komunitas Pelestari Sejarah Jombang.
Sebelum pendiskusian dimulai, Fendy Suhartanto berkisah, waktu penulisan mengenai sejarah Mojowarno di masa Kolonial tersebut, membutuhkan tempo selama tiga tahun. Dalam kurun tiga tahun tersebut, tahap heuristik (pencarian sumber) yang mendominasi proses kreatifnya.
Baca Juga : Yang Datang Setelah Gelap
“Karena disambi bekerja, jadi mencari sumber sejarah Mojowarno mulai dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia, Greja Kristen Jawi Wetan Mojowarno (GKJW), Media Massa, Komunitas Sejarah, serta Staatsblad (Lembaran Peraturan Negara) memang memerlukan waktu yang panjang,” ujar Fendy Suhartanto.
![]() |
Buku Karya Fendy Suhartanto. (Donny) |
Selang diskusi berlangsung, Fendy Suhartanto menerangkan, motivasi kepenulisannya berangkat dari kiprahnya sewaktu mengampu pelajaran Sejarah di SMA Negeri Mojoagung selama 11 tahun. Senapas pula, pada tahun 2017 di program Literasi Sekolah, Fendy Suhartanto memulai langkah menulis sejarah dan budaya lokal bersama siswa-siswinya.
Baca Juga : Pemerintah Harus Responsif Terhadap Kelompok Disabilitas
“Ketika itu, saya berfikir dari tulisan ini apa nilai edukasi yang dapat dipelajari oleh anak-anak. Akhirnya sejarah Mojowarno saya jadikan tema utamanya. Selain itu, faktor ikatan geografis, sosial, dan budaya tempat mengajar yang tak jauh dari Mojowarno, menjadikan saya mantab untuk menuliskan sejarahnya,” terang Fendy Suhartanto.
![]() |
Interior GKJW Mojowarno di Masa Kolonial. (Arsip Delpher) |
Periodesasi yang diambil Fendy Suhartanto mulai tahun 1864-1931 dalam sejarah Mojowarno, juga bukan tanpa alasan. Sebab, merunut dari analisis sumber yang dilakukan, tahun 1864-1879 adalah proses perkembangan Mojowarno menjadi Onderdistrik (Kecamatan). Sementara, di tahun 1931 merupakan masa di mana Mojowarno mulai memiliki perkembangan pesat sosial, budaya, ekonomi, pendidikan yang dimulai dari berdirinya GKJW dan Rumah Sakit Kristen Mojowarno.
Baca Juga : Rumah Simbol Sejarah Desa Jombok Bergaya Indische Empire
Fendy Suhartanto menambahkan, “Melalui kedua simbol peradaban Mojowarno itulah, Zendig atau misionaris saat itu memulai banyak pelayanan yang multikultural. Dari segi pendidikan, kesehatan, tidak ada perbedaan antar Ras di Mojowarno.”
![]() |
Arsip Perayaan Natal di Mojowarno dengan Festival Cahaya 24 Desember 1936. (Arsip Delpher) |
Menanggapi penjelasan Fendy Suhartanto, Pengamat Tradisi dan Kebudayaan Jombang, Nasrul Illahi menuturkan, sikap egaliter memang menjadi fondasi sosial dan budaya masyarakat Kota Santri. Berlanjut, Penulis dan Sastrawan Imam Ghozali AR, mengungkap, multikultural bukan sesuatu yang baru terjadi di masa Kolonial. Melainkan sudah terjalin sejak era klasik, dimana perbedaan Ras maupun keyakinan menjadi keragaman yang mewarnai sejarah. ■ donny darmawan