JOMBANG - 79 tahun usia Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembangunan di sektor Sumber Daya Manusia (SDM) masih menyisakan banyak PR. Khususnya pendidikan disabilitas/inklusi. Sebagai isu minoritas, potret pendidikan inklusi tentu menarik untuk menjadi perbincangan publik. Sebab, sebagaimana telah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pengaruh pengajaran harus memerdekakan kondisi lahiriyah manusia. Sedangkan, merdekanya batin merupakan inti dari pendidikan.


Oleh karenanya, layak dirumuskan pertanyaan, apakah Sekolah Luar Biasa (SLB) sudah merasakan kemerdekaan ? baik secara lahir maupun batin ?.


Baca Juga : Guru : Figur Mulia yang Mulai Luntur ?


Pada (26/7/2024) melalui sambungan WhatsApp, Majalah Suara Pendidikan menghubungi Kepala SLB Muhammadiyah Jombang sekaligus Founder Suara Difabel Mandiri, Achmad Fathul Iman, S.Pd. Menurutnya, masih banyak problem yang mesti diurai dan ditemukan solusinya atas kondisi pendidikan di SLB hari ini.


“Dengan jumlah 17 SLB, yang terbagi ke 15 SLB Swasta dan 2 SLB Negeri, Kabupaten Jombang menjadi kabupaten yang memiliki SLB terbanyak di Jawa Timur. Tetapi dari banyaknya jumlah SLB ini, pemerintah dan stakeholder di dalamnya masih harus memberikan perhatian khusus kepada warga SLB secara umum,” ujar Achmad Fathul Iman.


Praktik Ramah Disabilitas.
(Rabithah

Disinggung mengenai seperti apa dan bagaimana bentuk perhatian yang mesti diberikan, Achmad Fathul Iman menjelaskan, terdapat empat poin yang harus dijabarkan. Pertama, perlu diketahui meskipun jumlah SLB di Kabupaten Jombang banyak, namun untuk akses belum semua masyarakat paham dan menjangkaunya.


“Dalam kasus ini, ambil contoh semisal, di Kecamatan Plandaan ketika ada anak berkebutuhan khusus, maka SLB terdekat adalah di SLB Negeri Megaluh. Tentu saja, dari akses dan pembiayaan, masyarakat tak punya banyak pilihan. Ketika hanya untuk berangkat sekolah harus merogoh biaya 4000 sehari, ini untuk nambang, maka kalikan saja biaya hidup per hari. Maka, tidak banyak masyarakat di pelosok pedesaan yang mengakses pendidikan SLB,” beber Achmad Fathul Iman.


Baca Juga : Kenapa Kurikulum Pendidikan Bergonta-Ganti


Kedua, dijelaskannya pula, bahwa pada contoh kasuistik di atas, pemerintah desa, lewat dana desa bisa mengakomodasi kebutuhan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Pun, secara hukum, hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 14 Tahun 2020. Telah ditegaskan bahwasannya, alokasi dana desa dapat digunakan untuk pengembangan Desa Inklusi.


 “Dari sini, kita bisa melihat sejauhmana tata kelola Dana Desa itu menyentuh ranah pendidikan inklusi. Alias, mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak berkebutuhan khusus di lingkup desa. Apakah sudah terlaksana ? jika belum, maka mindset  pembangunan harusnya diperluas. Tak hanya soal membangun jalan, atau gorong-gorong saja. Tetapi juga ada pembangunan SDM, termasuk pendidikan SLB,” tegas Achmad Fathul Iman.

 

Praktik Prakarya di SLB Muhammadiyah Jombang.
(ist)

Achmad Fathul Iman melanjutkan, terkait biaya, pendidikan SLB memang berbeda dengan pendidikan reguler sejenisnya. Pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tiap siswa-siswi di SLB menerima Rp.3.700.000.

 

Achmad Fathul Iman mengurai, “Angka ini tentu masih harus dikalikan jumlah siswa-siswi per sekolah. Kalau jumlahnya banyak tentu masih bisa untuk membantu operasional kegiatan. Tetapi, antar SLB satu dengan yang lain juga berbeda. Belum lagi untuk SLB Swasta. Nah disinilah tadi, seperti yang saya sebutkan bahwa SLB masih banyak dan perlu perhatian khusus.” 


Sisi akses, biaya, serta bagaimana dan siapa yang mesti mengambil peran dalam membangun pendidikan inklusi telah dipaparkan secara gamblang oleh Achmad Fathul Iman. Lantas apakah selesai sampai disini saja ?


Baca Juga : Pendidikan Inklusif Harus Merdeka dan Setara


Berlanjut, pada poin ketiga, Achmad Fathul Iman membeberkan mekanisme pembelajaran serta output-nya di pendidikan SLB. Seturut pengalamannya memimpin SLB Muhammadiyah Jombang, pembelajaran yang diterapkannya bersama para guru, sebanyak 60%-70% banyak melakukan praktik langsung. Ini dilakukan untuk memberikan bekal keterampilan dan pembelajaran yang kontekstual pada kondisi siswa-siswinya.


“Praktik keterampilan memang kita utamakan. Jenisnya juga beragam. Ada tata boga, seni kriya, dan keterampilan lain yang tujuannya diarahkan untuk membekali skills siswa-siswi,” lata Achmad Fathul Iman.


Ditanyai lebih lanjut, tentang korelasi kurikulum pembelajaran keterampilan tersebut dengan output di dunia kerja, Achmad Fathul Iman mengatakan, tenaga kerja dari disabilitas maupun SLB memang ada yang sudah terserap. Tetapi, belum banyak.


Achmad Fathul Iman
(ist)

“Berbicara keterampilan di kelompok disabilitas memang sudah banyak. Tapi lagi lagi, pemberdayaan yang dilakukan kurang optimal. Disinilah, hadirnya Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dinantikan untuk melakukan pemberdayaan dan berisinergi untuk menciptakan peluang peluang baru bagi pemberdayaan kelompok disabilitas. Sehingga, kedepannya, stakeholder wajib satu irama dalam merespon kebutuhan kelompok disabilitas termasuk sisi pendidikan inklusi dan keluarannya. Jangan sampai, paradigma yang digunakan masih paradigma lama. Yaitu, ketika berurusan dengan kelompok disabilitas, maka hanya Dinas Sosial yang bertanggung jawab,” pungkas Achmad Fathul Iman. •donny darmawan

Lebih baru Lebih lama