NGORO –  Mewariskan suatu harta benda kepada sanak famili merupakan tradisi yang sejak zaman lampau hingga era kiwari saat ini, masih terus dilestarikan dengan pelbagai tujuan. Utamanya, untuk menjaga simbol trah keluarga agar tidak terhapus dalam ingatan anak cucu nantinya.


Baca Juga : Esport SMP Katolik Wijana


Hal tersebut pun turut melatarbelakangi sejarah sebuah rumah tua yang terletak di Dusun Jombok, Desa Jombok, Kecamatan Ngoro. Tepatnya berada persis di sebelah tikungan jalan provinsi, yang menghubungkan antara Kabupaten Jombang dengan Kediri.


Kemegahan Rumah yang Asri. 
(Donny)

Kendati nampak tua, namun seluruh bangunannya yang bercat putih dengan kombinasi warna biru muda di sekeliling tembok, pagar serta seluruh pintu dan jendelanya, masih terlihat kokoh dengan empat pilar setinggi 6 meter sebagai penyangga utama teras. Tak hanya itu, kombinasi warna yang cerah juga mendukung suasana di dalam dan sekitarnya nampak sejuk dan tenang.


Menariknya, pada muka teras rumah yang menjadi simbol berdirinya Pemerintahan Desa Jombok ini, terdapat sebuah bendi kuno. Bendi dengan goresan karat di sekujur permukannya ini memang menjadi satu paket peninggalan Kepala Desa Jombok terdahulu, yakni Mbah Bahu.


Bendi Peninggalan Mbah Bahu.
(Donny)

Subiantoro, salah satu keturunan Mbah Bahu dan penjaga rumah saat dijumpai disela aktivitasnya, membenarkan, rumah dan bendi kuno ini merupakan warisan Mbah Bahu sejak pertama menjabat sebagai Kepala Desa Jombok, dan sampai pada akhir jabatannya di tahun 1935. 

Baca Juga : Ajijen Harsoyo Hidupnya Setia Pada Keroncong


Singkat cerita, seluruh lahan rumah seluas ± 5000 meter persegi ditambah luasan rumah selebar 26 meter dengan panjang 34 meter, dan bendi ini kemudian dibeli oleh kakek Subiantoro yang merupakan adik kandung dari Mbah Bahu.


Silsilah Keluarga Adik Mbah Bahu.
(Donny)

“Dengan demikian untuk silsilah kepemilikan rumah ini memang masih kental dengan ikatan kekerabatan. Dimana setelah kepemilikan berada di tangan Urip Kartorejo yang merupakan kakek, lalu diwariskan ke ayah saya, yakni Basiroen Kartowisastro. Seiring waktu berjalan, rumah warisan ini tetap dijaga keasliannya dengan tidak merubah bentuk, isi, dan model bangunan yang sudah didirikan sejak tahun 1901,” beber Subiantoro.


Melacak dari periode pendirian serta tipe bangunan mulai dari tinggi, luas, bentuk atap, dan empat ruang di dalamnya, dapat dicirikan bahwasannya rumah warisan turunan Mbah Bahu ini memiliki corak Indische Empire. Merunut dari pelbagai sumber penelitian sejarah menerangkan, arsitektur Indische Empire muncul semasa peralihan dari abad 19 ke 20, yang mana penemuan teknologi dan modernisasi berkembang pesat di Hindia-Belanda. Alhasil, gaya bangunan pun menjadi salah satu ciri transformasi budaya, pendidikan, sosial, di era tersebut.


Sisi Dalam Rumah.
(Donny)

Mendetailkan penjelasannya, Subiantoro mengungkapkan, “Empat ruang yang ada memiliki fungsi berbeda. Setelah teras ialah ruang tamu, kemudian bersambung pada ruang tengah yang menjadi tempat keluarga besar berkumpul, lalu ruangan ketiga, dan terakhir ruang keempat di belakang sebagai lokasi bersantai dan berkumpul para petani yang bekerja di lahan milik kakek dan ayah saya. Sehingga untuk menjamu tamu khusus dengan ruangan bersantai dahulu memang berbeda. Menurut pitutur ayah, sewaktu saya menghabiskan masa kecil disini, tamu khusus memang diistimewakan dan dijamu di ruangan tamu depan, sebagai bentuk penghormatan.”


Ditemui terpisah, Kepala Desa Jombok, Nugroho Adiwiyono, S.P. yang masih keturunan dari Mbah Bahu, mengakui bahwa keberadaan rumah tersebut tak terpisahkan dari kesejarahan Pemerintah Desa Jombok. Sehingga, dari komitmen keluarga besar dan pemerintah desa berkomitmen untuk menjaga tetap berdiri dan tidak sampai berpindah tangan ke pihak lain. Lantaran, dikhawatirkan apabila beralih kepemilikan, akan menghilangkan makna dan nilai sejarah di dalamnya.


Nugroho Adiwiyono menegaskan, “Begitupula manfaatnya, sebab rumah tersebut sudah pernah dijadikan lokasi syuting film Jejak 2 Ulama. Tentu pemilihan lokasi ini membuktikkan bahwa rumah bersejarah harus tetap dirawat keberadannya, agar dapat menjadi pembelajaran sejarah bagi tiap generasi.” ■ donny darmawan

 

Lebih baru Lebih lama