KESAMBEN – Ketika melintasi Dusun Garu, Desa Podoroto, Kecamatan Kesamben tentu akan mudah menemui pemandangan unik karena tidak semua daerah memilikinya. Di desa ini ada ruas jalan yang berisi deretan rumah bernuansa kuno. Hampir sepuluh rumah jadul yang sebagian besar terawat dengan baik. Milik siapakah rumah-rumah istimewa ini?
Setelah ditelisik, ternyata terdapat satu
rumah yang menjadi rumah induk dari delapan rumah kuno lainnya. Rumah ini milik
Alm. Haji Muchsin yang merupakan Lurah Desa Podoroto di era kolonial,
diperkirakan ia menjabat pada tahun 1928 hingga 1947.Dari sinilah kemudian satu
persatu anak Haji Muchsin dibuatkan rumah dengan gaya yang hampir mirip di
kanan kiri jalan berjajar.
Saat
ini rumah induk Alm. Haji Muchsin ditempati oleh putri mantunya bernama Nurul
Hayati (71). Nurul Hayati mengisahkan bahwa rumah induk tersebut dibangun
sekitar tahun 1920. Rumah induk ini memiliki arsitektur agak berbeda dari rumah
kuno lainnya. Memiliki halaman yang luas yang terawat. Di bagian depan
difungsikan sebagai taman dan tempat menjemur hasil panen. Sedang bagian
samping kiri terdapat kebun dan bagian belakang dulunya sempat digunakan untuk
berternak. Pada bagian samping kanan masih berdiri bekas gudang dan lumbung
untuk menyimpan hasil panen.
Rumah ini terihat sangat besar, lebar sekitar 13 meter dan memanjang ke belakang. Apalagi sudut atap sangat atap yang tinggi, lebih dari 50 derajat terkesan kokoh dan mewah di zamannya. Nampak kusen kayu jatinya masih asli berdiameter 18 cm termasuk di pintu ruang tengah yang lega. Dengan dinding tebal khas bangunan kolonial dan lantai sebagian telah di teraso, udara didalamnya terasa sejuk. Bentuk jendela dan pintu rumah Alm. Haji Muchsin juga masih berdaun ganda (kupu tarung) dengan jalusi atau krepyak. Semakin khas, ada ornamen seperti tirai di tembok depan yang tidak dirubah.
“Rumah ini tidak pernah direnovasi. Hanya perawatan bagian-bagian tertentu saja seperti genting, atau tegel yang pecah dan tembok yang mengelupas. Perawatan rutin yang dilakukan adalah pengecatan, dulunya hanya berwarna merah marun dan putih saja, namun seiring waktu beberapa corak warna sempat dicoba,” terang perempuan yang akrab disapa Bu Nuk itu.
Saking
terawatnya, barang-barang perabot seperti cermin besar, almari baju, meja kursi
dan dipan masih nampak
kinclong.Bahkan sebuah jam antik masih menmpel di tuang tengah dengan beberapa
foto keluarga berpigora bersih terawat. Hanya lumbung padi saja yang kini
dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan saat ada reuni atau pertemuan rutin
keluarga. Konstruksi lumbung yang full
kayu ini masih dibiarkan utuh, hanya lantainya yang diganti dengan
keramik.
Meskipun bukan termasuk rumah yang bergaya Joglo, namun rumah induk ini memiliki denah yang mirip dengan rumah Joglo dengan tiga bagian yakni bagian depan, tengah dan ndalem. Bahkan dulunya salah satu ruangan dipercaya dipakai sebagai markas atau ruang tahanan tentara semasa penjajahan. rabitha maha/*