NASIONAL - Pendidikan inklusif di Tanah Air masih menghadapi beberapa persoalan. Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak atau SAPDA, Nurul Saadah menyampaikan masalah ini salah satunya berkaitan dengan perspektif dari masyarakat.

Nurul Saadah menyebut, perspektif di masyarakat melihat bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) sama dengan anak penyandang disabilitas, yang ternyata adalah dua hal berbeda. ABK adalah semua anak yang dalam situasi khusus. ABK ada yang cerdas istimewa, yang kemungkinan kesulitan berinteraksi sosial, kesulitan untuk sekolah bersama anak-anak yang secara IQ standar, anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Dia melanjutkan, ABK termasuk anak-anak yang orangtuanya sekolah atau bekerja lama di luar negeri. Begitu kembali ke Indonesia, anak harus sekolah dengan bahasa Indonesia dan mengalami kesulitan. Mereka harus mendapat dukungan atau guru pendamping atau kurikulum khusus.

Persoalan perspektif ini baginya menjadi luar biasa dampaknya dalam proses implementasi. Belum lagi kalau banyak orangtua atau masyarakat (menganggap) anak-anak penyandang disabilitas itu tidak perlu sekolah.

Dia menjelaskan hubungan ABK dengan memaknai pendidikan inklusif sama dengan anak disabilitas yang beragam, misalnya tuli, netra, bukan itu sebetulnya. Pendidikan inklusif diberikan buat semua dengan konsep individual curriculum yang sangat penting, karena semua anak harus mendapat hak mendapat proses pembelajaran, termasuk aksesibilitas anak-anak disabilitas.

Nurul Saadah menambahkan, ada perspektif lain bahwa banyak masyarakat yang melihat anak-anak penyandang disabilitas harus masuk Sekolah Luar Biasa (SLB) saja, tidak masuk ke pendidikan umum karena berbagai alasan, mulai dari merasa tidak penting, tidak siap, atau memang harus belajar di sana.

Baca Juga: Eni Lailiyah, S.Pd., M.Pfis. Dari Eksakta ke Guru TK

Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak ini mengatakan dari proses itu, ada perspektif lain untuk sekolah inklusif, mereka menganggap bahwa sekolah inklusif tapi karena ABK maka disediakan di ruang-ruang khusus, misalnya terjadi di beberapa sekolah yang saya tahu, di sekolah umum nanti ada kelas inklusif, yaitu anak-anak dengan disabilitas disendirikan di ruang tersebut untuk proses belajar mengajar.

Dia menjelaskan, persoalan perspektif ini baginya menjadi luar biasa dampaknya dalam proses implementasi. Belum lagi kalau banyak orangtua atau masyarakat (menganggap) anak-anak penyandang disabilitas itu tidak perlu sekolah.

Kesenjangan Kebijakan hingga Ketidaksiapan

Persoalan selanjutnya, berkaitan dengan kesenjangan kebijakan pusat dan daerah. Nurul Saadah mengatakan anggap pemerintah pusat sudah mengatur pendidikan inklusif dengan beragam regulasi dari pendidikan nasional sendiri, Undang-Undangnya, kemudian Undang-Undang penyandang disabilitas sampai ada peraturan pemerintahnya.

Dia melanjutkan tapi kemudian, bisa jadi pemerintah daerah belum cukup paham dan mereka belum menganggap itu penting untuk membuat peraturan-peraturan daerah yang ada pendidikan inklusif. Belum semua daerah mempunyai peraturan daerah terkait pendidikan inklusif.

Masalah yang dihadapi selanjutnya, ada persoalan kesiapan pemerintah kabupaten kota untuk menyelenggarakan unit pelayanan disabilitas. Karena ternyata, pengalamannya bekerja di banyak daerah itu, komitmen kepala daerah sangat penting, termasuk bicara kecukupan anggaran.

Nurul Saadah menegaskan anggaran dari pusat cukup banyak, tapi misalnya guru-guru pendamping khusus harus dibayar oleh pemerintah daerah, sementara biasanya guru pendamping khusus itu hanya disediakan oleh pemerintah provinsi dari guru-guru SLB, guru SLB berapa jumlahnya dan berapa jumlah anak disabilitas yang sekolah. Kalau pemerintah daerah tidak menyediakan anggaran yang mencukupi bagi guru-guru ini, pendidikan inklusif hanya sekadar jargon, tidak bisa dijalankan.

Masalah lainnya adalah ketidaksiapan sekolah menghadapi anak disabilitas sebagai warga sekolah yang menyebabkan anak-anak disabilitas didiskriminasi atau dirundung. Karena memang dengan banyaknya pengalaman sekolah seringkali memaksakan diri untuk menjadi sekolah inklusif karena adanya reward dari daerah atau pemerintah, tapi mereka sebetulnya tidak cukup paham, apa yang disebut sekolah inklusif itu sendiri.

Nurul Saadah menutup sekolah inklusif, sekolah yang secara infrastruktur fasilitas aman untuk anak-anak dengan disabilitas juga ABK.

Sumber/Rewrite: liputan6.com/Tiyas Aprilia

Lebih baru Lebih lama