Ilustrasi pelaksanaan GLNS oleh peserta didik SMP Negeri 2 Ploso. (Ist)


JOMBANG – Sudah bukan rahasia lagi bila urutan negeri ini diantara negara lain soal literasi terbilang masih tertinggal, bahkan juga dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Sehingga tak ayal ketika dilakukan penilaian supervisi mutu pendidikan oleh pengawas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang hasilnya kurang memuaskan soal penilaian literasi serta numerasinya.

Seperti diketahui dalam penilaian supervisi mutu pendidikan, literasi dan numerasi menjadi salah satu indikator penilaian. Tak hanya tersedianya fasilitas yang memadai, namun perlu juga ada kesinambungan dengan beragam program serta pola dilingkungan satuan pendidikan tersebut. Jikalau tidak memang dapat dipastikan akan luntur dalam menggelorakan literasi dan numerasi kepada civitas satuan pendidikan.

Perpustakaan harus menjadi magnet peserta didik tatkala ingin menyelesaikan persoalan meteri pelajaran, juga menjadi tempat yang selalu dituju saat memiliki waktu luang. Agar peserta didik betah, kenyamanan dan ornamen perpustakaan dapat diciptakan laiknya ruang hiburan.

Ditambah dengan terjadinya pembelajaran jarak jauh yang berlangsung cukup lama, semakin melengkapi kesukaran dalam menumbuhkan kebiasaan literasi serta numerasi di satuan pendidikan. Biar pun pembelajaran mampu berjalan baik, tetapi karena tak ada ‘krentek’ atau keinginan dari diri sendiri untuk membudayakannya, sehingga tampaknya masih sangat jauh dari harapan meraih pembiasaan literasi dan numerasi tersebut.

Baca Juga: Supervisi Mutu Pendidikan 2021 Literasi dan Numerasi Masih Rendah

Pengamat Pendidikan Jombang, Yusron Aminullah melihat sebenarnya dalam esensi dasarnya kegiatan literasi tahun 2021 sudah cukup baik dibandingkan dengan sebelumnya. Apalagi sekarang dibarengi dengan numerasi yang menitiberatkan pemahaman konteks dalam ikhwal angka dan simbol dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya menjadi salah satu upaya pengembangan pemahaman pemikirannya. Sayangnya ditataran pelaksanaan mungkin belum terimplementasikan dengan baik. Disebabkan faktor internal seperti ketidakpahaman dalam penerapan literasi dan numerasi atau ekternal selaiknya ketersediaan fasilitas hingga momentumnya yang berbarengan dengan pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.

Pengamat Pendidikan sekaligus anggota Forum Pendidikan Jawa Timur, Yusron Aminullah. (Ist)

“Menuju kecakapan Gerakan Literasi Numerasi Sekolah (GLNS) fasilitas menjadi syarat mutlak yang harus diupayakan. Adanya ruang baca yang nyaman dan menarik minat peserta didik, kelaikan, kebersihan buku dan jenisnya juga perlu diperhatikan tak hanya berkutat pada buku paket mata pelajaran tetapi menyediakan wahana buku pengetahuan umum dan karya fiksi seperti novel dan komik,” ungkap anggota Forum Pendidikan Jawa Timur ini.

Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Jombang, Yoni Tri Joko Kurnianto, S.Pd., M.Si. mengamini perihal fasilitas merupakan salah satu penunjang GLNS. Perpustakaan harus menjadi magnet peserta didik tatkala ingin menyelesaikan persoalan meteri pelajaran, juga menjadi tempat yang selalu dituju saat memiliki waktu luang. Agar peserta didik betah, kenyamanan dan ornamen perpustakaan dapat diciptakan laiknya ruang hiburan.

Ketua IGI Kabupaten Jombang, Yoni Tri Joko Kurnianto, S.Pd., M.Si. (Rabithah)

Yoni Tri Joko Kurnianto menegaskan, “Ketersediaan buku baru harus dianggarkan setiap bulan menyesuaikan trend buku yang sedang berkembang saat ini. Pengunjung perpustakaan baik itu guru maupun peserta didik ibarat raja yang harus dipenuhi hasrat membacanya, namun masih dalam konteks pendidikan, kebudayaan dan hiburan sesuai jenjang usianya.”

Sekretaris APKS PGRI Kabupaten Jombang, Dr. M. Ali Murtadlo, A. Ma., S. Pd., M. Pd. (Ist)

Sekretaris Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS), PGRI Kabupaten Jombang, Dr. M. Ali Murtadlo, A.Ma., S.Pd., M.Pd. menyampaikan bahwa pentingnya mengembangkan lingkungan fisik satuan pendidikan ramah literasi. Selain kelengkapan fasilitas perpustakaan dan buku, satuan pendidikan dapat menyediakan majalah dinding guna memberikan informasi buku baru, resensi, hingga hasil karya literasi peserta didik dan guru. Jadi resume tak hanya ditulis dan dinilai, melainkan untuk dinikmati seluruh warga sekolah.

Penggiat literasi Jombang, Dra. Nanik Masriyah menerangkan terkait fasilitas bacaan yang representatif misalkan saja ketersediaan sudut baca di setiap kelas, ruang guru, kepala sekolah, dan pada tempat umum yang aman. Hal ini dinilai penting apabila buku tersebut mudah dijangkau maka kesempatan membaca terbuka lebar. Misalnya ketika lewat tak sengaja membaca judul atau sekadar melihat sampul yang menarik, maka membaca pun dapat terlaksana.

Penggiat literasi, sekaligus guru bahasa Indonesia SMP Negeri Kudu, Dra. Nanik Masriyah. (Ist)

“Minimnya koleksi buku dapat di atasi dengan sistem rotasi. Sembari menunggu koleksi baru, maka buku yang tersedia di sudut baca kelas A pada minggu selanjutnya dipindah pada kelas B dan begitu terus hingga semua tuntas terbaca. Selanjutnya dapat menambah wawasan dari koran atau majalah, sampai pada akses buku digital. Hal ini dilakukan agar warga sekolah tak merasa bosan dan jenuh dengan ketersediaan bahan bacaan,” ungkap Nanik Masriyah yang juga sebagai Guru Bahasa Indonesia, SMP Negeri Kudu.

Usai fasilitas ruang dan ketersediaan buku terlaksana dengan baik, maka diperlukan tim yang kompak untuk menggerakkan roda GLNS. Seperti yang disampaikan Yusron Aminullah bahwa guru dan pengelola perpustakaan adalah teladan. Apabila kepala sekolah dan guru tidak suka membaca, tidak terlihat membaca di satuan pendidikan maka jangan harap peserta didik dapat tergugah gairah membacanya. Buku hanyalah sebuah benda, tak akan berguna tatkala manusianya tak diubah pola pikirnya. Dari tidak pernah menyentuh buku menjadi membaca, dari sekadar membaca satu buku menjadi kebiasaan membaca setiap hari, hingga pada kecintaan akan membaca buku.

Yoni Tri Joko Kurnianto, mengatakan bahwa membentuk tim literasi menjadi salah satu kunci kesuksesan GLNS. Setelah terbentuk harus memiliki program yang jelas dan konkret. Misalnya, bagi warga satuan pendidikan yang tidak memiliki kegemaran membaca harus di paksa dengan memberikan stimulus seraya berharap dalam kurun waktu tertentu menjadi pembiasaan yang tumbuh subur.

Setelah fasilitas, dan tim literasi terbentuk maka diperlukan jurus yang ampuh dalam mengobarkan budaya membaca hingga menulis. Yusron Aminullah menambahkan bahwa solusi minat baca harus dibarengi minat menulis. Apabila ingin peserta didik gemar membaca maka memberi tugas menulis dapat dilakukan terlebih dahulu. Seiring mengerjakan tugas menulis, peserta didik akan mencari buku tatkala butuh referensi.

M. Ali Murtadlo menyampaikan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi kegiatan berliterasi bagi peserta didik adalah melalui metode Membaca Yes. Pelaksanaan metode ini diawali dengan teriakan yel-yel disertai gerakan melompat sambil mengepalkan tangan atau mengangkat buku yang dilakukan oleh peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan membaca.

“Selanjutnya peserta didik fokus melaksanakan kegiatan membaca untuk menemukan informasi. Perwakilan peserta didik secara bergantian menceritakan kembali informasi yang didapat. Kegiatan ini tidak disertai kegiatan tanya jawab. Seluruh peserta didik diminta menuliskan informasi yang ditemukan menggunakan bahasa sendiri. Penilaian bersifat kualitatif, berisi catatan motivasi agar lebih bersemangat melaksanakan kegiatan literasi berikutnya,” kata lelaki alumni S3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang itu.

Langkah konkret yang ditawarkan oleh Yoni Tri Joko Kurnianto adalah dengan memberi tugas membaca dan menulis resume, baik untuk guru dan peserta didik. Bagi guru tak harus membaca buku, namun menuliskan pengalaman sehari-hari dalam mengajar. Ada penghargaan dan hukuman bagi yang tidak melaksanakan, hal ini merupakan wewenang tim literasi. Langkah ini dapat terlaksana apabila resume yang telah ditulis dikoreksi dengan sungguh-sungguh.

Nanik Masriyah juga menuturkan bahwa metode membaca sesuai dengan tahapan. Kegiatan pembiasaan membaca 15 atau 20 menit sebelum pelajaran dimulai. Dibina oleh setiap wali kelas atau guru yang bertugas mengajar jam pertama.

Perempuan berhijab yang juga mengembangkan perpustakaan SMP Negeri Kudu ini menambahkan, “Apabila tugas resume terasa membebani, alternatif pilihan yaitu peserta didik dapat memilih bercerita di kelas atau menulis komentar dari yang sudah dibacanya, baik itu kelebihan maupun kekurangan buku. Setiap berkala mengadakan kegiatan literasi, berupa lomba atau pemilihan resume terbaik, duta literasi setiap kelas hingga satuan pendidikan. Mendatangkan motivator, narasumber dan juri yang mumpuni, dengan begitu akan memantik semangat literasi dan juga adu kreavifitas menulis.”

Terkait metode membaca scanning dan skimming, Nanik Masriyah menambahkan. Peserta didik membaca koran atau majalah cukup menggunaakan metode scanning artinya dalam teknik ini, peserta didik tidak perlu pemahaman yang mendalam dan tidak harus membaca keselurahan dari isi bacaan tersebut.

Guru Bahasa Indonesia MAN 3 Jombang, Pustakawan pendiri Rialita Kreativa Aksara. (Ist)

Pustakawan dan pendiri Rialita Kreativa Aksara, Rialita Fithra Asmara, S.Pd. mengatakan bahwa perpustakaan pada era sekarang tak hanya berkutat pada peminjaman buku atau sekadar menjadi gudang buku. Harus memiliki program kegiatan berupa produk atau karya yang dihasilkan setelah membaca dan belajar numerasi. Perpustakaan dapat menjadi tempat rujukan guna mengenal tradisi daerah dan menikmati ragam praktik GLNS yang senantiasa mengalami dinamika.

“Pembiasaan membaca dan mengerjakan tugas perihal numerasi mutlak dilaksanakan, selanjutnya untuk menjalankan sebuah program GLNS diperlukan motor pengerak berupa tim yang kompak dan cakap. Saya menjalin kolaborasi dengan banyak pihak untuk mengembangkan GLNS di MAN 3 Jombang, sehingga secara konsisten meraih perpustakaan akreditasi A. Inovasi yang kami galakkan diantaranya adalah Mispin Wabesshodobukla merupakan akronim dari Mistar Pintar, Wayang, Besutan, Shodou, Dongeng, Buku dan Lagu,” papar Rialita Fithra Asmara yang juga sebagai Guru Bahasa Indonesia di MAN 3 Jombang itu.

Ilustrasi pelaksanaan GLNS oleh peserta didik SMP Negeri 2 Ploso. (Ist)

Lebih lanjut, perempuan pendiri Komunitas Baca Arpelbuk ini menambahkan program Mispin Wabesshodobukla memiliki makna yang lengkap. Mistar Pintar merupakan alat penunjang membaca yang berfungsi menandai, mengukur, menjadi kipas serta memiliki fitur lampu penerang. Wayang, Besutan, Shodou, Dongeng menjadi wahana peserta didik dalam mengenal, mempelajari beraneka ragam budaya dan kesenian, menjadi panggung aktualisasi hasil membacanya. Buku dan lagu merupakan hasil karya peserta didik. Tak hanya dinilai dan dibiarkan begitu saja, namun harus berani menelurkan sebuah karya yang dapat dinikmati khalayak luas. M. Ali Murtadlo menambahkan didalam menerapkan pengembangan diri mencakup kegiatan terprogram misalnya ekstrakurikuler Karya Tulis Siswa. Peserta didik yang memiliki potensi GLNS lebih tinggi diantara rekannya dapat terwadahi di ekstrakurikuler ini. Agar minat tersebut dapat tersalurkan tak menguap begitu saja.

“GLNS harus dijalankan secara berkelanjutan. Selama ini hanya dilaksanakan ketika ada momen tertentu misalnya untuk memenuhi permintaan monitoring atau bahkan kegiatan lomba yang dilaksanakan oleh pihak terkait. GLNS terkesan jalan di tempat lantaran tak disertai kegiatan kecakapan dalam berkomunikasi secara tulis maupun lisan,” tandas pria yang juga menjabat Pengawas Sekolah Wilayah Kerja Kecamatan Bareng ini.

Yusron Aminullah yang juga sebagai CEO De Durian Park Wonosalam ini memungkasi setelah semua aspek terpenuhi secara maksimal, maka sumber daya manusia menjadi kuncinya. Disdikbud Kabupaten Jombang wajib melakukan pelatihan secara berkala terkait penguatan GLNS, terutama kepala sekolah dan pengelola perpustakaan. Bagi peserta pelatihan diharapkan secara teguh dan tak setengah hati menangkap materi, sehingga dapat mengimbaskan pada satuan pendidikan nantinya.

Reporter/Foto: Rabithah Maha Sukma/Istimewa

Lebih baru Lebih lama