…
Hati
Tenang Melamun
Oh
Dinda Juwitaku
Ingat
Beta Riwayat Yang Dulu
Waktu
Kita Bertemu
…
Dinda
Bestari, Mus Mulyadi
JOMBANG - Lantunan tembang ciptaan maestro keroncong Indonesia tersebut terdengar mengalun merdu dari muka serambi salah satu surau yang berada di Dusun Parimono Gang IV, Desa Plandi, Kecamatan Jombang, pada Kamis pagi (11/1/2024).
Terlihat, sembari duduk bersila dengan memainkan ukulele, seorang kakek bertopi nampak khidmat melantunkannya.
Baca Juga : Dirty Vote 2024 : Kliping Hitam Demokratisasi Indonesia
Kendati
sesekali tersengal akibat batuk, namun tiap deretan bait dilagukan secara laik.
Begitupun dengan suara yang dimilikinya. Meski tak lantang, pelafalan irama lagu
masih tertata rapi. Seraya lembut dan mententramkan jiwa bagi siapapun yang
mendengarnya saat itu.
Itulah figur Ajijen Harsoyo, yang di mata masyarakat Dusun Parimono maupun Desa Plandi sudah masyhur akan konsistensi dan kepiawaiannya menekuni Musik Keroncong.
Lekas melantunkan tembang Dinda Bestari tersebut, Mbah Jen sapaan akrabnya berkisah bahwa Keroncong baginya telah menjadi saksi perjalanan hidup.
"Dulu itu saya belajar Keroncong, setelah ikut di kelompok Gambus Mawar Bersemi waktu tahun 1965. Terus, saya mendirikan grup Sandiwara Musik Bunga Saroja di tahun 1970. Tapi dulu itu, Bunga Saroja tidak diiringi Musik Keroncong pas pentas. Tapi banyak ke Orkes Melayu. Ya, akhirnya semua anggota tak ajak belajar lagu-lagu Keroncong,” tutur Ajijen Harsoyo.
Sepuluh tahun berselang merintis karier Musik Sandiwara Bunga Saroja yang dikomandoinya, kevakuman sempat melanda dunia seni panggung Ajijen Harsoyo. Kakek berusia 82 tahun ini bertutur, vakumnya Musik Sandiwara Bunga Saroja disebabkan karena dirinya bersama rekan satu grupnya, harus mengikuti program transmigrasi di Aceh selama 19 tahun lamanya. Tepatnya pada awal periode tahun1980 sampai tahun1999.
“Pas jadi transmigran, panggung masih jalan. Waktu di Aceh, saya dan anggota malah disuruh pentas dan ngulangi warga disana main biola, kentrung, dan gitar,” papar Ajijen Harsoyo.
Disinggung
mengenai sumber ilmu dan pengetahuan bermusik Keroncongnya, Ajijen Harsoyo
mengungkapkan, keduanya di dapatkan atas aktivitasnya nyantrik dari sosok Aswandi yang merupakan ayahanda dari legenda
Srimulat asal Diwek, yakni Asmuni. Kala itu, pada medio 1960-an awal, gitar
dipelajari terlebih dahulu. Lalu berlanjut ke biola, ukulele, serta alat musik
Keroncong sejenisnya.
Baca Juga : Memaknai Literasi Dengan Drama Kolosal Islami
"Wah dulu itu, pas selesai belajar lagu Bengawan Solo atau Hujan Gerimis, saya mainnya ndelik-ndelik. Karena dulu dilarang sama bapak. Tapi tidak lama. Bapak akhirnya mengerti, saya suka Musik Keroncong, dan sampai hari ini semuanya
saya lakoni dengan senang,” kenang Ajijen Harsoyo sembari tersenyum.
Ajijen Harsoyo dan Biola Kesayangannya
(Donny)
Lain
dulu lain sekarang. Kini di senja usianya, kemampuan fisik Ajijen Harsoyo telah
banyak menurun. Walau demikian, ukulele, gitar, biola masih menjadi teman
setianya. Bahkan kesehariannya banyak dihabiskan di sebrang timur perempatan
Jalan Bupati R Soedirman, Desa Sengon, Kecamatan Jombang untuk menghibur para
pengguna jalan yang melintas. Sedari pagi hingga sore hari, Ajijen Harsoyo tetap
bersemangat bernyanyi tembang lawas Keroncong seraya memainkan ukulele kesayangannya
tersebut.
Ajijen Harsoyo Saat Menghabiskan Waktunya
(Donny)
Terakhir
Ajijen Harsoyo menyampaikan, “Kadang ya ngga selalu di jalan mas. Tapi kadang banyak yang nyusul untuk tanggapan main di acara keluarga. Ya bersyukur, saya masih diberikan kesehatan. Kalau agak sumpek, obatnya ya nyanyi lagu Keroncong. Ini saja sudah bikin senang." ■
donny darmawan