BARENG - Harga kebutuhan kian tak pasti. Musim tanam susah ditebak, kegelisahan turut merebak di kalangan petani. Krisis pangan pun sudah naik seleher. Tak ingin beranjak dari kondisi yang mencekik, Sopiah warga Dusun Banjarsari Desa Bareng Kecamatan Bareng, berinisiatif mengumpulkan warga untuk membuat Lumbung Paceklik.


Di awali dari gerakan mengumpulkan beras per cangkir dari tiap satu rumah, Lumbung Paceklik akhirnya mampu mengatasi krisis pangan yang saat itu terjadi di Dusun Banjarsari pada  warsa 1967-1968. Kini 57 tahun lebih setelahnya, Lumbung Paceklik masih berdiri.


Yuk Baca : Pendidikan Adalah Pengabdian Diri Pada Tuhan


Terletak di halaman kediaman Samiaji yang merupakan putra bungsu dari Sopiah, Lumbung Paceklik semi permanen seluas 9 x 14 meter ini masih dimanfaatkan untuk pengelolaan kebutuhan dapur. Utamanya, sebagai pendukung perputaran roda ekonomi para petani dalam bentuk koperasi.


Pengambilan Gabah di Lumbung Paceklik.
(Donny)

Minggu (18/2/2022) saat pagi belum terlalu siang, puluhan petani berbondong-bondong memadati dan mengantre untuk mengambil gabah di Lumbung Paceklik. Disela kepadatan aktivitas ini, Samiaji berkisah, bahwa seiring perkembangan zaman, fungsi Lumbung Paceklik telah berubah. Jika dahulu murni untuk kebutuhan pangan, namun sekarang bergeser ke kebutuhan untuk tanam atau panen.


Terletak di halaman kediaman Samiaji yang merupakan putra bungsu dari Sopiah (pencetus Lumbung Paceklik), Lumbung Paceklik semi permanen seluas 9 x 14 meter ini masih dimanfaatkan untuk pengelolaan kebutuhan dapur. Utamanya, sebagai pendukung perputaran roda ekonomi para petani dalam bentuk koperasi.


Yuk Baca : Persoalan Lingkungan Tak Bisa Diselesaikan Oleh Satu Pihak


“Kalau dulu, masih ada emak Lumbung Paceklik ini ya isinya beras dari kumpulan warga sekitar. Terus sepeninggal emak dan karena tuntutan zaman, saat ini Lumbung Paceklik ini berisi gabah kering hasil panen dan dikelola dengan sistem koperasi. Anggotanya tidak hanya dari petani Dusun Banjarsari. Melainkan juga Dusun Tegalsari dan Tegalan Kedunggalih,” beber Samiaji.


Gabah Kering.
(Donny)

Lebih lanjut Samiaji yang juga seniman grafis ini menambahkan, operasional Lumbung Paceklik ini merupakan kekuatan ekonomi warga yang berdikari. Dikelola secara kolektif serta berkeadilan, dengan tujuan agar desa memiliki aset ekonomi, budaya dan sejarah yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi.


Yuk Baca : Kelestarian Lingkungan Juga Tanggungjawab Dunia Pendidikan


Merunut prinsip kolektivitas dan asas keadilan dalam Lumbung Paceklik ini, Arwigati Ketua Lumbung Paceklik yang merupakan putri pertama Sopiah, menerangkan bahwa, tiap dibuka masa panen dan setelahnya, mekanisme pinjaman untuk modal pertanian dapat diratakan. Ini melihat dari jumlah gabah yang ada.


“Sekarang ya mayoritas diuangkan gabahnya. Karena musim sekarang itu susah. Antara kemarau dan penghujan tidak bisa di titeni. Akhirnya ya pengaruh ke jumlah setoran gabah yang ada. Kalau sekarang karena banyak gagal panen, gabah yang ada hanya 6 ton, biasanya 10-15 ton. Pinjaman pun ya bungane 20 % kalau ini bentuk uang. Kalau gabah, 5 kwintal jadi 6 kwintal. Lek dijual disini, petani dapat uang 750 ribu per kwintalnya. Jadi harga dan biaya ini tergantung dari harga gabah dipasaran,” ungkap Arwigati.


Proses Penghitungan Hasil Gabah.
(Donny)

Ditanyai mengapa Lumbung Paceklik ini bisa berumur setengah abad lebih tujuh tahun, Arwigati menjawab karena sistem anggotanya juga turun temurun. Penerus dari mbah, bapak, dan kini para anaknya yang menjadi saksi dan garda perjuangan Lumbung Paceklik Dusun Banjarasari. donny darmawan 

Lebih baru Lebih lama