JOMBANG - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) dalam salah satu kebijakannya mengenai pendidikan kemarin, terus menuai pro dan kontra.
Hal ini disebabkan karena KDM, memutuskan untuk mengirim siswa yang dianggap nakal ke barak tentara untuk digembleng pendidikan karakternya.
Yuk Baca : Meningkatkan Mutu Literasi di SDN Dapurkejambon III Jombang
Keputusan KDM yang terkesan buru-buru dan kurangnya peninjauan lebih dalam ini, bagi sebagian pengamat pendidikan, dianggap kurang tepat. Tentunya, masih banyak cara yang dapat terapkan untuk mengembangkan pendidikan karakter.
![]() |
Nobita dan Gurunya (Google) |
Pun,
para guru dan pakar pendidikan jelas punya metodenya. Karena, mereka telah terbiasa
bersentuhan langsung dengan berbagai macam karakter siswa.
Perlunya Kita
Belajar Pada Gurunya Nobita
Dalam serial anime Jepang, Doraemon, ada tokoh yang berperan sebagai guru, namanya Pak Guru Eiichiro Senjou. Sebetulnya, nama ini lumayan sulit ditelusuri karena beberapa sumber menyebutkan, nama Pak Guru ini memiliki beberapa penamaan.
Terlepas dari itu, saya melihat ada yang berbeda dari alur penceritaan dan peran tokoh satu ini.
Yuk Baca : Voice In Action Wadah Bersuara Siswa Siswi SMP Muhammadiyah Boarding School Bareng
Khususnya, cara mendidik Pak Guru Eiichiro Senjou yang kerap kali sidak ke rumah Nobita, ketika Nobita selalu melakukan pelanggaran di sekolah atau hanya sekedar mengecek pekerjaan rumah Nobita.
![]() |
Pak Guru Eiichiro Senjou Mendampingi Nobita (Google) |
Tak hanya itu, Pak Guru Eiichiro Senjou juga tidak segan-segan memberikan laporan perkembangan belajar Nobita di sekolah kepada orang tuanya.
Nah, dari sini muncul dialektika antara pihak sekolah dan orang tua. Memang, pendidikan seharusnya begini, kan ?
Dalam episode Doraemon yang berjudul Licin, Pak Guru tidak Bisa Berhenti, Pak Guru Eiichiro Senjou datang ke rumah Nobita dan bertemu dengan Ibunya.
Beliau menyampaikan bahwa Nobita acapkali membuat “onar” di kelas. Mulai dari sering tertidur ketika pelajaran, sering melupakan PR, dan tidak mendengarkan nasihatnya.
Yuk Baca : Canting di Ujung Waktu
Akhirnya Pak Guru Eiichiro Senjou juga tak segan-segan memarahi Nobita, langsung di depan Ibunya.
Dari apa yang sudah dilakukan Pak Guru Eiichiro Senjou, penulis berpendapat bahwa, caranya sudah tepat untuk menempa karakter anak.
Bahkan, lebih tepat daripada langsung mengirim siswa ke barak Militer tanpa menggali lebih dalam sebab akibatnya siswa menjadi dan hanya mencapnya sebagai siswa “nakal”.
Toh, semua guru sudah paham. Jika ada siswa bermasalah, pastinya itu terjadi bukan tanpa sebab. Bisa jadi karena orang tuanya juga yang bermasalah dalam mendidik, sehingga anak meniru perilaku orang tua atau anak akan mencari pelampiasan di luar.
Semua itu memang harus ditelusuri lebih dalam penyebabnya.
Dan,
alih-alih mengirim anak bermasalah ke barak Militer dengan alasan pendidikan
karakter yang mana cara tersebut masih sangat temporer, baiknya kita melakukan
refleksi bersama, mencoba cari akar permasalahannya dan tuntaskan dari paling
dasar dulu.
Ajak
siswa, orang tua, dan para guru untuk berdialog. Jangan-jangan penyebabnya soal
ekonomi, lingkungan sosial yang kurang baik, atau ternyata keluarga mereka lebih
bermasalah.
Dalam
sebuah jurnal yang berjudul Faktor
Keluarga Dalam Kenakalan Remaja (Studi Deskriptif Mengenai Geng Motor Di Kota
Bandung) dipaparkan bahwa, keharmonisan hubungan dalam keluarga juga
berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Seseorang
akan merasa nyaman apabila dihargai dalam lingkungannya begitupun sebaliknya. Ketika
seseorang merasa tidak dihargai dalam suatu lingkungan dia akan mencari
lingkungan yang lebih nyaman walaupun itu cenderung negatif.
Lagi-lagi di sini, orang tua memang mengambil peran penting dalam membentuk sikap anak. Jika orang tua mampu menciptakan iklim rumah yang nyaman, ini setidaknya dapat mengurangi perilaku negatif anak di luar rumah.
![]() |
Nobita dan Pak Guru Eiichiro Senjou (Google) |
Atau
jangan sampai, setelah para siswa pulang dari barak Militer dan kembali ke
lingkungan dimana mereka mendapat label ‘nakal’, mereka justru kembali ke
kondisi awal lagi.
Memang,
menyelesaikan permasalahan anak-anak dan para remaja tanggung ini lumayan rumit
dan butuh waktu panjang. Pendidikan dengan gaya militeristik pun tidak menjamin
bentuk kenakalan ini akan segera terhapus.
Jika
itu belum cukup, bagaimana dengan setumpuk sertifikat pelatihan, berjam-jam
webinar, workshop, yang sudah diikuti para guru ? apakah ini juga belum cukup
?.
Penulis
yakin, “seharusnya” para guru ilmunya lebih dalam dan piawai mengentaskan kasus
kenakalan para anak dan remaja ini.
Penulis : Muhammad Tsani Ansori, S.Psi. (Guru BK SMK Tamansiswa Mojoagung)
*) Esai telah disunting oleh Redaksi Majalah Suara Pendidikan