CERPEN - Pagi itu di sebuah rumah sederhana yang terletak di pinggir kota. Nampaklah seorang gadis cantik yang sedang duduk sembari memandang dengan kagum karya buatannya.
Di hadapannya
terbentang kain dengan pola-pola rumit yang terlihat indah. Namun memiliki makna tersembunyi di baliknya. Dia adalah
Gladis, salah seorang pengrajin Batik
Tulis di daerah Pekalongan.
Meskipun umurnya baru memasuki kepala dua, Gladis sudah mahir untuk memainkan canting di atas kain.
Yuk Baca : Guru : Figur Mulia Yang Mulai Luntur ?
Membentuk pola-pola rumit yang memiliki kesan indah, dimana tersembunyi beribu makna di dalamnya. Motif bunga, burung, dan ornamen alam khas daerah Pekalongan, menjadi ide utama Gladis dalam berkarya.
Sejak kecil, Gladis berguru membatik kepada neneknya yang merupakan seorang pengrajin Batik Tulis khas daerah Pekalongan.
Akan
tetapi, seiring perkembangan zaman, pengrajin Batik
Tulis mulai diremehkan.
Yang katanya kemahalan sampai kurang modis, sering Gladis dengar. Padahal harga Batik Tulis yang mahal juga seimbang dengan proses pengerjaannya yang lama dan juga rumit.
Tapi
bagi Gladis, jika
dikatakan kurang modis, menurutnya tidak seperti itu. Pernah suatu
ketika saat sedang mempromosikan batik tulisnya di pasar, ada dua orang yang
berbisik-bisik didekatnya.
“Lihat
tuh motif batiknya, kuno banget. Nggak ada
modis-modisnya."
“Aku ogah banget kalau disuru pakai baju pakai
kain itu, ihh,” ujar remaja berbaju merah sengan pandangannya
meneliti motif dari batik tulis yang sedang Gladis pegang.
Yuk Baca : Keberanian Adalah Warisan 100 Tahun Pram
Tak berselang lama temannya menyahut, “Iya loh. Udah kuno. Mahalnya juga nggak ngotak. Siapa yang mau beli kalau begitu.”
Meskipun samar, tapi Gladis masih dapat mencerna apa yang kedua remaja itu bicarakan. Dari pandangannya saja, Gladis bisa tahu bahwa mereka adalah Gen Z yang sama sekali tidak bisa menghargai sebuah karya.
Mereka tidak tahu kalau apa yang mereka hina, merupakan sebuah warisan dari para leluhur yang patut untuk dilestarikan.
Keesokan harinya,
ketika Gladis sedang menggambar pola-pola di atas kain atau disebut dengan mencanting,
Rasminah, sang Ibu, menghampiri
dengan wajah yang terlihat lesu.
Rasminah hanya duduk diam disamping anaknya. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari beliau. Tapi dari hembusan napasnya yang terdengar berat. Gladis tau ada masalah yang sedang singgah di kepalanya.
Gladis meletakkan canting kembali ke tempatnya,
tubuhnya diserongkan menghadap sang Ibu
dan dengan tenang dia bertanya. “Ada masalah apa bu ?”.
Ibunya menghela napas berat. Lalu mulai menjawab, “Nak, apa kamu yakin dengan usaha kita ?. Semakin kesini peminatnya semakin berkurang. Dan, kalau itu terus berlanjut maka penghasilan kita tidak akan bisa menutup biaya produksi.”
Gladis terdiam sejenak. Dia sebenarnya sadar. Bahwa, semakin kesini peminat dari Batik Tulis semakin berkurang. Bahkan, dalam waktu sebulan hanya beberapa kain yang laku terjual.
Tapi apakah karena hal itu usahanya harus terancam tutup ? Gladis tidak rela.
Yuk Baca : ChatGPT : Cepat Namun Tak Selalu Tepat
Ini adalah usaha peninggalan dari neneknya. Dan dia harus mempertahankan usaha ini sampai akhir.
Dengan nada tidak begitu yakin, dia menjawab
pertanyaan sang ibu.
“Memang semakin kesini sedikit peminat. Tapi kita harus bisa mempertahankan usaha
ini bu. Ini peninggalan
Nenek. Dan
Gladis nggak mau kalau sampai usaha
ini hancur,” jawabnya sambil memegang tangan sang Ibu.
“Gladis bakal cari solusi Bu,
Gladis janji,” imbuhnya dengan bersungguh-sungguh.
Dari percakapan terakhirnya dengan sang Ibu, Gladis mulai memutar otak untuk mencari solusi. Dia mulai mempelajari kembali motif-motif klasik dan menggabungkannya dengan sentuhan modern.
Ilustrasi Gladis Saat Membatik
(Penulis)
Dengan karyanya yang sudah mengalami perubahan, Gladis memberanikan diri untuk mengikuti sebuah pameran kecil di kotanya.
Dia berharap dari pemeran ini, maka akan menjadi titik balik dari usahanya yang sedang mengalami kerapuhan.
Namun dia mulai menyerah dan ragu. Karya Batik Tulis
buatannya tidak
mendapat perhatian dari seorang pun.
Selang beberapa hari kemudian, ada nomor asing yang menghubungi Gladis. Orang tersebut bertanya tentang kain yang dipamerkan saat acara tempo hari, dan berniat untuk menjalin kerjasama dengan memesan beberapa kain batik dari Gladis.
Dia adalah Pak William, seorang kolektor seni asing yang tertarik dengan Batik Tulis karya Gladis.
Yuk Baca : Jalan Sunyi Literasi Lewat Secangkir Kopi
Beliau mendapatkan informasi tentang batik tulis karya Gladis, dari temannya yang saat itu datang di acara pameran.
Semenjak itu, karya Gladis mulai dikenal oleh banyak orang. Bahkan dihargai di luar negeri.
Dengan begitu, dia berhasil membuktikan bahwa Batik Tulis masih memiliki tempat di hati para pecinta seni.
Dan perlahan, masyarakat mulai kembali menghargai Batik Tulis.
Penulis : Santun Setya Bakti, Mahasiswi Prodi Komunikasi & Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN Satu Tulungagung)