NASIONAL - Kondisi lingkungan di Indonesia berada pada titik kritis. Jumlah sampah yang sangat besar dan perilaku masyarakat yang kurang peduli dalam mengelolanya, memperjelas betapa parahnya masalah ini. Sampah, terutama plastik beserta turunannya, ada di mana-mana—dari sungai hingga lahan pertanian dan bahkan hutan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tercatat dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, tumpukan sampah nasional Indonesia mencapai angka mencengangkan 31,9 juta ton pada Juli 2024.


Baca Juga : Batik Berkibar di Gemuruh Musik Metal


Meskipun 63,3% dari sampah tersebut dapat dikelola, sebanyak 11,3 juta ton sampah tetap tidak terkelola, yang memperburuk masalah lingkungan negara ini. Di Indonesia persoalan sampah atau boleh dikatakan krisis sampah menjadi salah satu penanda utama permasalahan lingkungan. Pembuangan plastik dan bahan non-biodegradable (tidak dapat terurai) lainnya secara sembarangan di sungai, hutan, dan lahan pertanian telah menciptakan dampak yang hampir tidak bisa diubah pada ekosistem alam.


Peserta Didik di Sebuah Sekolah di Jepang.
(ist)

Baca Juga : Memahami Akar Kasus Kekerasan Seksual oleh Oknum Guru di Gorontalo


Dari uraian di atas, krisis sampah memerlukan perhatian serius, salah satu di antara banyaknya solusi adalah meningkatkan pendidikan lingkungan bagi anak-anak di Indonesia. Saat ini, pendidikan lingkungan belum menjadi prioritas di sekolah, sehingga generasi berikutnya kurang siap menghadapi tantangan lingkungan. Kesadaran masyarakat, terutama anak-anak, terhadap lingkungan masih rendah, yang menuntut perubahan pendekatan pendidikan. Jepang, yang telah mengintegrasikan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum nasional, dapat menjadi contoh bagi Indonesia dalam membangun kesadaran lingkungan sejak dini.


Belajar Pendidikan Lingkungan Dari Jepang


Sejarah Jepang menawarkan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam perjuangannya untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan lingkungan. Komitmen Jepang terhadap pendidikan lingkungan dimulai sebagai tanggapan terhadap serangkaian bencana lingkungan yang melanda pada pertengahan abad ke-20. 


Baca Juga : Dirty Vote 2024 : Kliping Hitam Demokratisasi Indonesia


Ada Tregedi Minamata pada tahun 1956, yang disebabkan oleh pencemaran merkuri dari pabrik kimia sehingga menyebabkan penyakit aneh. Dan tragedi penyakit asma Yokkaichi pada tahun 1977.


Korban Tragedi Minamata
(ist)

Belajar dari dua tragedi tersebut, Pemerintah Jepang akhirnya mendirikan Masyarakat Pendidikan Lingkungan Jepang (Nippon Kankyo Kyoiku Gakkai) pada tahun 1990. Hal inilah yang semakin memperkuat upaya serius masyarakat Jepang untuk mempromosikan berbagai program lingkungan. Yang dalam perjalanannya saat itu, inisiatif masih diawali oleh kolaborasi antara organisasi non-pemerintah (NGO) dan institusi akademik. Pada tahun 1990-an, Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Olahraga, dan Kebudayaan Jepang (Monbukagakushō) telah menetapkan pedoman formal untuk pendidikan lingkungan, yang kemudian diperkenalkan dalam kurikulum sekolah di seluruh Jepang.


Baca Juga : Perpustakaan Indonesia Rangking 6 se Asia Tenggara


Setahun kemudian, pada tahun 1991, Kementerian Pendidikan memperkenalkan Panduan Guru untuk Pendidikan Lingkungan (Kankyō kyōiku no tame no kyōshi-yō gaido), yang menetapkan lima prinsip utama. Pertama, pendidikan lingkungan harus diterapkan di semua tingkatan, termasuk keluarga, sekolah, dan komunitas lokal. Kedua, pendidikan ini harus dapat diakses oleh semua kelompok usia, dengan program khusus untuk anak-anak yang dirancang untuk menumbuhkan kepekaan awal terhadap alam. Ketiga, pendidikan lingkungan harus tidak hanya fokus pada pemberian pengetahuan tetapi juga pada penanaman tanggung jawab etis dan pemikiran kritis. Keempat, siswa harus mengembangkan sikap kritis terhadap pilihan kebutuhan ramah lingkungan. Kelima, pendidikan lingkungan harus menekankan keterkaitan antara masalah lingkungan lokal dan global.


Berlanjut, Jepang secara terus-menerus memperbarui kerangka pendidikan lingkungannya untuk menghadapi tantangan global saat ini. Salah satu pembaruan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2014, ketika Jepang mengadopsi perspektif berbasis Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan atau Education for Sustainable Development (ESD), yang bertujuan untuk mengintegrasikan pendidikan sekolah dan sosial ke dalam kerangka kerja yang terpadu.


Aktivitas Belajar Sekolah di Jepang.
(ist)

Pendekatan ini memastikan bahwa siswa belajar tidak hanya dari buku teks tetapi juga dari penerapan dunia nyata, membantu mereka memahami implikasi yang lebih luas dari tindakan mereka terhadap lingkungan.


Selain reformasi pendidikan ini, Jepang telah menerapkan kebijakan lingkungan yang kuat. Undang-Undang Lingkungan Dasar (Kankyo Kihon Ho) tahun 1993 secara eksplisit mendukung pendidikan lingkungan, dan Undang-Undang untuk Meningkatkan Motivasi Konservasi Lingkungan (Kankyō kyōiku-tō ni yoru kankyō hozen no torikumi no sokushin ni kansuru hōritsu) yang diberlakukan pada tahun 2003 semakin mempromosikan pembelajaran lingkungan.


Baca Juga Ajijen Harsoyo : Hidupnya Setia Pada Keroncong


Kebijakan di atas juga memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun rencana umum pendidikan lingkungan, pusat pembelajaran lingkungan, dan program pelatihan bagi para pemimpin masa depan, menciptakan sistem pendidikan lingkungan yang menyeluruh yang melampaui ruang kelas.


Bersih Lingkungan oleh Pelajar di Jepang.
(ist)


Pembelajaran bagi Indonesia


Indonesia dapat mengambil beberapa pelajaran dari pengalaman Jepang dalam pendidikan lingkungan. Pertama, integrasi pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum nasional sangat penting. Pendidikan ini harus dimulai dari tingkat taman kanak-kanak dan berlanjut hingga sekolah menengah, memberikan siswa pemahaman yang kuat tentang isu-isu lingkungan dan keterampilan yang diperlukan untuk menanganinya.


Wahyu Eka Setyawan.
(ist)

Kedua, pendidikan lingkungan tidak boleh terbatas pada ruang kelas, harus meluas ke keluarga dan komunitas lokal untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada lingkungan. Akhirnya, Indonesia harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, seperti halnya Undang-Undang Lingkungan Dasar Jepang dan Undang-Undang untuk Meningkatkan Motivasi Konservasi Lingkungan.


Baca JugaDarurat Moralitas Pejabat Disdikbud Kabupaten Jombang


Maka, untuk mencapai tujuan ini, Indonesia perlu menumbuhkan budaya kesadaran lingkungan yang dimulai dari generasi mudanya. Dengan memperkenalkan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum, meningkatkan kesadaran publik, dan menerapkan kebijakan yang mendukung, Indonesia dapat mengambil langkah signifikan menuju mengatasi tantangan lingkungannya. Tanpa upaya semacam itu, visi Indonesia Emas 2045 akan tetap sulit dicapai, tertutupi oleh kenyataan negara yang terdegradasi secara lingkungan dan cemas.


Akhir kata, kesadaran lingkungan di Indonesia berada pada titik kritis yang rendah, dengan sampah yang tidak terkelola dan kebiasaan konsumsi yang tidak bertanggung jawab mengancam masa depan negara. Solusinya terletak pada adopsi strategi pendidikan jangka panjang yang mirip dengan Jepang, di mana pendidikan lingkungan telah diintegrasikan ke dalam sistem sekolah dan masyarakat luas.


Penulis : Direktur Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan


*Tulisan telah di sunting oleh Redaksi Majalah Suara Pendidikan untuk penyesuaian sistematika penulisan. 

Lebih baru Lebih lama