NASIONAL - 2 Oktober dalam kalender nasional diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Peringatan ini sekaligus menandai tanggal penetapan Batik yang sudah resmi dijadikan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, atau Unesco pada 2 Oktober 2009 silam.
Baca Juga : Ajijen Harsoyo : Hidupnya Setia Pada Keroncong
Melansir dari itjen.kemdikbud.go.id, Batik sudah muncul sejak era Kerajaan Majapahit dan era Kerajaan Islam sesudahnya. Kemudian, berlanjut ke periode Kerajaan Mataram Islam, dan terpusat perkembangannya di Solo dan Yogyakarta.
![]() |
Down For Life Solo (ist) |
Lebih lanjut, kemenparekraf.go.id mencatat, setidaknya telah ada 5.849 motif Batik yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Atas dasar ini pula, Batik pun telah menjadi identitas nasional yang inklusif. Tak terkecuali bagi para seniman dan musisi tanah air.
Di Jawa Tengah ada Down For Life band Metal yang lahir dari Sriwedari Solo, turut menetapkan Batik sebagai identitas panggungnya sejak tahun 2018 lalu. Sang vokalis, Stephanus Adjie, saat dikonfirmasi melalui WhatsApp pada (4/10), menjabarkan, Down For Life dan Batik mulai terikat sewaktu tampil di salah satu festival musik Rock dan Metal terbesar di dunia, yaitu Wacken Open Air Jerman 2018.
Baca Juga : Memahami Akar Kasus Kekerasan Seksual oleh Oknum Guru di Gorontalo
"Saat itu tantangan terbesar kami adalah, mempresentasikan musik keras Indonesia. Setelah diskusi internal dan juga meminta pendapat dari beberapa budayawan, akademisi dan pelaku musik keras seperti Bagjo Indrianto, Yuka Narendra dan almarhum Krisna Baskara, akhirnya kami memutuskan memakai batik menjadi identitas dari mana kami berasal," ujar Stephanus Adjie.
![]() |
Batik Parang yang dikenakan Personil Down For Life. (ist) |
Ditanyai lebih lanjut perihal motif Batik yang dikenakan, Stephanus Adjie menerangkan, pilihan Down For Life jatuh kepada motif Batik Parang. Pemilihan ini bukan tanpa dasar. Motif Batik Parang dipilih, sebab nilai dan maknya sesuai dengan representasi perjuangan Down For Life dari Indonesia menuju Waken Open Air Jerman 2018.
"Batik motif Parang kami pilih, sebagai motif dasar paling tua. Yang maknanya, menggambarkan perjuangan yang tidak pernah putus, dalam arti upaya untuk memperbaiki diri, memperjuangkan kesejahteraan, serta bentuk pertalian keluarga. Dan motif Parang ini, dulunya juga sering dipakai para ksatria berangkat ke medan perang dan pulang membawa kemenangan. Sehingga, kami pun memodifikasinya untuk atribut di panggung dengan menyobeknya, dan seakan armor atau seragam perang yang sudah melewati banyak medan peperangan dan membawa kemenangan," imbuh Stephanus Adjie.
Baca Juga : Remo Boletan Diusulkan Jadi WBTB 2024
Selain itu, menurut Stephanus Adjie, Batik bagi Down For Life adalah sebuah simbol pengingat diri.
"Sekalipun musik Metal masih sering dipandang sebelah mata dalam tatanan budaya. Tapi kami tidak peduli dengan segala anggapan ataupun sentimen negatif yang ada. Down For Life akan tetap berkarya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kami. Sebab bagi kami, budaya tidak hanya sekedar bentuk hiburan tapi juga praktik perilaku dan spiritualitas kehidupan sehari-hari. Dan kami adalah orang Indonesia, orang Jawa dan segala kebudayaan yang melekat, maka Batik juga sarana kami untuk selalu ingat dari mana kami berasal, siapa pencipta kami dan untuk apa kami hidup. Seperti pesan leluhur, Eling Sangkan Paraning Dumadi," tegas Stephanus Adjie.
![]() |
Aksi Dua Gitaris Down For Life. (ist) |
Menariknya, perjalanan Down For Life bersama Batik ini juga telah menghasilkan beberapa karya otentik nan terbaru. Seperti, di tahun 2023 lalu dalam menyambut Hari Sumpah Pemuda, Down For Life berkolaborasi dengan Persis Solo dan Batik Keris untuk merilis satu produk batik bertajuk Sambernyawa yang didesain oleh Paundra Karna, Efendi Mahmud dan Jahlo Gomes.
Baca Juga : Rumah Bersejarah Desa Jombok Bergaya Indische Empire
Tak hanya di Solo, di Jawa Timur juga ada Sorem, band Black Metal yang sejak 2012 silam telah setia mengusung Batik sebagai panji panggung dan gerakan kebudayaannya. Dihubungi via WhatsApp pada (5/10) lalu, Eitaz, gitaris Sorem menerangkan, terdapat tiga motif Batik yang telah menjadi identitas panggung Sorem. Diantaranya motif Kawung, Sidomukti, dan Sekar Jagad.
![]() |
Dokumentasi Sorem di Kulon Progo Metal Fest 2016. (ist) |
"Tiap motifnya memang memiliki nilai dan makna tersendiri. Mulai dari Batik Kawung, jenis motif diyakini juga motif Batik tertua. Beberapa juga meyakini bentuk motif Batik Kawung ini seperti bulatan buah kawung atau kolang-kaling dan ada juga yang menafsirkan sebagai bunga teratai yang merekah. Yang merupakan lambang dari keindahan yang tumbuh dalam kegelapan dan panjang umur. Selain itu, Batik Kawung juga terlihat presisi dan simetris, diyakini juga bentuk bagaimana menyeimbangkan Rwa Bhineda (hitam putih) yang hidup dengan disiplin tertata," terang Eitaz.
Baca Juga : Perlukah Sejarah Pelanggaran HAM Diajarkan di Sekolah ?
Lebih lanjut, untuk motif Batik Sidomukti, Eitaz menjelaskannya sebagai bagian simbol gerakan Sorem. Dari usul katanya, Sidomukti terdiri dari dua kata. Yaitu, Sido dan Mukti.
"Sido artinya menjadi, dan Mukti adalah kejayaan atau kemuliaan. Jadi bagi pengguna Batik Sidomukti ini harapannya adalah agar mudah mendapatkan kemuliaan hidup dan kemenangan perang. Perang ini juga kami maksudkan upaya menegakkan kebudayaan jatidiri bangsa diantara gempuran kultur modernisasi & globalisasi saat ini," ungkap Eitaz.
![]() |
Aksi Salah Satu Punggawa Sorem (ist) |
Untuk motif Batik Sekar Jagad, menurut Eitaz, ini juga sesuai dengan ide-ide pengkaryaan Sorem. Dimana simbolisasi dan filosofinya, memperlambang keindahan dan keberagamaan dunia. Sebagaimana pula tugas seorang seniman, yang menyuarakan keindahan dan suatu pemikiran.
Baca Juga : Jumlah Perpustakaan Umum Indonesia Rangking 6 se Asia Tenggara
"Nah begitu juga keteguhan sebuah bunga. Entah dipandang, atau tidak dipandang, diabaikan atau diperhatikan. Bunga tetaplah konsisten dengan hakikat hidupnya yg indah dan mewangi. Memayu Hayuning Buana. Begitu juga Sorem dengan karya-karyanya yang selalu membawa pergerakan seni budaya ini agar mengharumkan nama leluhur dan indentitas bangsa secara luas," terang Eitaz.
![]() |
Aksi Basis Sorem (ist) |
Terakhir, disinggung mengenai relevansi musik Metal dan nilai-nilai budaya Nusantara, Eitaz tanpa ragu menjawab bahwa, Sorem tidak ingin berdiri sebagai musisi semata. Tetapi juga melingkupi pergerakan budaya yang meliputi identitas dan partirtur asli Nusantara dalam tiap proses pengkaryaannya.
"Seni adalah unsur budaya. Dan setiap peradaban memiliki budayanya sendiri, pun Nusantara ini memiliki kesatuan yang utuh dalam menyikapi budaya. Sehingga Sorem sendiri menjadi bagian di dalamnya dengan membawa sudut padang kenusantaraan dalam langgam musik Metal," tutup Eitaz. ■donny darmawan