JOMBANG - Berburu takjil memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, ketika masa bulan Ramadan. Berbagai jenis makanan dan minuman dijajakan sepanjang jalan, diatas stand. Sejauh yang saya amati, jenis kuliner yang dijual rata-rata merupakan jajanan viral.


Termasuk dimsum, sosis telur, es boba hingga berbagai olahan makanan pedas. Dan memang, kuliner-kuliner viral ini selalu menjadi incaran untuk dijadikan kudapan berbuka puasa.


Yuk Baca : Ini Dia Program Bu Pensi Dong di SDN Pundong II Diwek


Fenomena tersebut tidak muncul tiba-tiba. Ini bisa kita amati, ketika para konten kreator gencar memberikan rekomendasi jajanan/makanan yang katanya “wajib dicoba.” Hal ini tentu, mengunggah rasa penasaran kita, terhadap jajanan viral yang ada. Termasuk saya, yang juga tergugah untuk mencobanya.


Ilustrasi Semangkuk Kolak.
(ist)

Namun, pernahkah kita berpikir, apakah vibes bulan Ramadan tetap menyenangkan meskipun tanpa jajanan viral ?. Apa memang kenikmatan bulan puasa hanya bergantung pada tren kuliner dan jajanan yang sedang viral ?.


Tidak bisa dimungkiri memang. Bahwa jajanan kekinian menambah kesan, jika bulan Ramadan selalu ramai dan “hidup”. Pun, kita sudah terlanjur larut dalam suasana dan tradisi ngabuburit, yang rasanya kurang afdol kalau tidak berburu jajanan viral ini. Panjang dan lamanya antrean menjadi rasa tersendiri. Dan seolah-olah, puasa kita terasa menyenangkan kalau bisa berbuka dengan jajanan dan kuliner yang baru.


Yuk Baca : Apa Sih Maknanya Megengan Itu ?


Dari sini, saya mencoba mengulik memori masa lalu. Dulu, sebelum media sosial berkembang secara masif seperti sekarang, nuansa bulan Ramadan tetap terasa spesial. Meskipun tanpa jajanan viral. Menu berbuka cukup berupa kolak pisang, es buah, atau gorengan. Ngabuburit, juga cukup dihabiskan untuk bermain atau sekedar berkumpul dan berbincang di langgar, menyimak pengajian, tausyiah.


Keramaian di salah satu Sentra PKL.
(Penulis)

Berbeda dengan sekarang. Bulan Ramadan, justru banyak yang berfokus berburu makanan viral hingga antre berjam-jam. Padahal, inti dari puasa bukan hanya sebatas ibadah. Ataupun berbondong-bondong mengentaskan rasa lapar saat berbuka. Tetapi, menurut saya, Puasa harus menjadi pembelajaran untuk menanamkan sikap hidup yang lebih sederhana dan mengendalikan diri dari perilaku konsumtif.


Belajar dari Semangkuk Kolak


Mencoba jajanan kekinian, tentu tidak ada salahnya. Tetapi, tanpa makanan kekinian pun, Ramadan tetap bisa dinikmati dengan sajian yang sederhana. Misalnya Kolak.


Yuk Baca : Pembelajaran di Swedia Kembali ke Buku Cetak


Selain rasa, dan wujudnya yang khas, bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak Kolak juga relatif murah, juga mudah di temui di Indonesia.


Diantara kelezatan Kolak pada setiap teguknya ternyata mengandung nilai-nilai religius, dan nilai historis di dalamnya. Sebab para ulama sejak ratusan tahun yang lalu, menjadikan Kolak sebagai media berdakwahnya.


Salah satu Jajanan kekinian.
(Penulis)


Melansir dari salah satu artikel di Jawa Pos, diyakini bahwa, Kolak berasal dari bahasa Arab, yaitu “khalik”. Ini artinya, ketika Kolak yang juga identik dengan bulan Ramadan, turut memberi pesan bahwa setiap umat muslim harus selalu mengingat dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta utamanya.


Yuk Baca : Mutu Pendidikan Terancam Akibat Efisiensi Anggaran


Jadi, bukankah cukup dengan kolak saja kita sudah mendapatkan sepaket rasa kenyang jiwa dan raga ?.


Antrean di Sentra PKL Saat Sore Hari.
(Penulis)

Atau masih perlu ditambah makanan pendamping yang kekinian agar kita tidak terlalu ketinggalan ?. Itu semua kembali ke kita masing-masing. Yang pasti, disetiap Ramadan, Kolak selalu menjadi simbol untuk mengiringi keberkahan bulan penuh rahmat ini.


Penulis : Muhammad Tsani Ansori, S.Psi. (Guru Bimbingan dan Konseling SMP Unggulan Al Madinah Diwek)


*) Esai telah disunting untuk menyesuaikan sistematika penulisan, bahasa, dan ejaan yang sesuai dengan standar Redaksi Majalah Suara Pendidikan

Lebih baru Lebih lama