JOMBANG - Keberadaan Ruang Publik, merupakan elemen terpenting untuk memunculkan serta menciptakan identitas maupun memperat hubungan sosial dalam kelompok suatu masyarakat. Untuk itulah, sebuah aktivasi Ruang Publik menjadi penting dan perlu guna menjaga identitas dan keterikatan masyarakat di dalamnya.


Sehubungan dengan hal tersebut, pada (17/2/2025), Jombang Institute, Kelompok Bahagia Sawo Kecik (KBSK), serta Kolektif Hysteria dari Semarang, menghelat kegiatan yang bertajuk Lawatan Jalan Terus Bandeng Keliling. Bertempat di Pendopo Setra Sawo Kecik, Dusun Jambu, Desa Jabon, Kecamatan Jombang, kegiatan yang diinisiasi Jombang Institute dan KBSK ini, diisi dengan tiga kegiatan utama.


Pertama, pendiskusian dengan tema Aktivasi Ruang Publik, Kerja Komunitas, dan Kreativitas Pemuda. Kedua, bedah buku Tulang Lunak Bandeng Juwana 1 & 2. Lalu ketiga, nonton bareng dokumenter Legiun Tulang Lunak : 20 Centimeter per Year.


Yuk Baca : Seperti Apa Kesiapan Sekolah Rakyat Gagasan Kemensos ?


Selama acara berlangsung, tiga pembicara juga turut dihadirkan. Diantaranya, Founder Kolektif Hysteria, Yuswinardi, Founder TBM Gelaran Buku Jambu Daar El Fikr Kediri, Ahmad Ikhwan Susilo, dan yang terakhir ialah Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Kabupaten Jombang, Miftahul Ulum, S.T., M.Si.


Dalam sambutan pembukanya, Founder Jombang Institute yang juga Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UPJB Jombang, Anton Wahyudi, M.Pd. menjabarkan, kegiatan ini dihelat atas dasar pengaktifan Setra Sawo Kecik sebagai Ruang Publik sebagai sarana pemantik kreativitas warga. Sekaligus menandai 20 tahun usia Kolektif Hysteria.


Nobar Dokumenter 
Legiun Tulang Lunak : 20 Centimeter per Year.
(ist)


Yuswinardi pun menambahkan, Lawatan Jalan Terus Bandeng Keliling merupakan upaya dan peringatan dua dekade usia Kolektif Hysteria dalam menjaring relasi, dan membangun jejaring antar komunitas seni dan literasi di beberapa kota antar provinsi. Jombang sendiri, merupakan salah satu dari 35 kota yang disinggahi tur Kolektif Hysteria ini.


“Jadi sengaja kami bawa juga hasil pengarsipan perjalanan kebudayaan kami selama di Semarang, dalam bentuk buku dan film. Mengapa namanya Tulang Lunak Bandeng Juwana ? karena gerak kami dalam mengangkat isu urbanisme di Semarang memang luwes. Untuk tujuan advokasi Ruang Publik misalnya, kami juga bekerjasama dengan banyak pihak termasuk pemangku kebijakan. Dan juga ini menjadi penanda, bahwa di Semarang juga tidak ada satu identitas seni maupun kebudayaan yang saklek. Sehingga Tulang Lunak Bandeng Juwana inilah yang kami jadikan simbol pergerakan Kolektif Hysteria di Semarang,” ujar Yuswinardi.


Mengaktivasi Ruang Publik Melalui Seni dan Kerja Komunitas


Disinggung lebih lanjut mengenai metode dan prinsip kerja seni dan kebudayaan di Kolektif Hysteria, Yuswinardi menjelaskan, bahwasannya, di Kolektif Hysteria memiliki beberapa divisi yang membidangi beberapa isu strategis. Misalnya untuk seni ada Ditampart, Pentaklabs, dan urbanisme ada di Pekakota.


Yuk Baca : Bagaimana Peran dan Tanggungjawab Dunia Pendidikan Terhadap Kelestarian Lingkungan ?


“Ketiganya, memiliki media yang sama dalam merespon isu perkotaan, lingkungan, budaya, sejarah, yakni melalui seni. Mengapa seni yang kami pilih ? karena bisa memunculkan identitas dan rasa kepemilikan warga terhadap ruang hidupnya. Maka bagi kami, makna seni sendiri bukanlah suatu menara gading,” tegas Yuswinardi.


Pendiskusian Ruang Publik dan Peran Kerja
Komunitas. 
(ist)


Ditanyai perihal perbedaan mendasar antara pergerakan Kolektif Hysteria dengan komunitas yang serupa, Yuswinardi menjawab, bahwa perbedaannya terletak pada kerja pengarsipan.


“Jadi, setiap kami membuat sebuah festival kampung di Semarang, kami melakukan riset terlebih dahulu mengenai bentuk budayanya, latar historisnya. Yang kemudian, hasil riset ini sudah kami bukukan dalam Tulang Lunak Bandeng Juwana 1 & 2,” ungkap Yuswinardi.


Mengenai kerja pengarsipan, dan peran komunitas dalam aktivasi Ruang Publik, Ahmad Ikhwan Susilo, berpendapat, relasi kehadiran komunitas di tengah masyarakat menjadi hal yang penting.


Yuk Baca : Menyelami Peran AI di Dunia Pendidikan


“Seperti pengalaman TBM Gelaran Buku Jambu Daar El Fikr, awalnya pada tahun 2014 kami hanya fokus pada penyediaan bacaan sastra dan sejenisnya. Akan tetapi lambat laun kami berfikir, bahwa kami juga harus menambah koleksi buku umum yang diminati masyarakat. Seperti buku memasakan, berkebun dan lain sebagainya. Selain itu, kami juga sudah melakukan advokasi kesenian Ketoprak di kampung-kampung. Dan semuanya berdasar pada riset dan arsip,” tutur Ahmad Ikhwan Susilo.


Sementara itu, Miftahul Ulum menjabarkan, Ruang Publik memang penting. Sebab dalam masterplan Green City atau Kota Ramah Lingkungan, dalam suatu kota harus ada 20% Ruang Publik.


Antusias Warga Menonton Dokumenter
Legiun Tulang Lunak : 20 Centimeter per Year.
(ist)

“Dan dalam kerja DLH, kami juga banyak dibantu oleh beberapa komunitas pegiat lingkungan yang menjadi mitra strategis kami. Oleh karenanya, baik aktivasi Ruang Publik dan kerja komunitas ini penting dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat,” tutup Miftahul Ulumdonny darmawan

Lebih baru Lebih lama