JOMBANG - Setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh pada bulan Ramadan, umat islam dipertemukan dengan momen 1 Syawal. Yang mana pada tanggal tersebut umat islam merayakannya sebagai hari raya Idul Fitri.
Di Indonesia dengan latar belakang keberagaman kekayaan bahasa daerahnya, masyarakat menyebut Idul Fitri dengan sebutan yang bermacam - macam. Khususnya masyarakat muslim di Jawa, ada beberapa sebutan untuk hari raya Idul Fitri.
Yuk Baca : Segera Cek PIP 2025 !
Seperti
riyoyo, bodo, lebaran, dan syawalan.Tentunya
sebutan yang sudah akrab di lisan masyarakat ini ada yang melatar belakangi. Sehingga
secara mashur dan turun temurun, sebutan untuk hari raya Idul Fitri masih akrab
sampai sekarang.
Bulan Syawal salah satu nama bulan pada kalender hijriyah, yaitu bulan ke-10. Kata syawal, berasal dari bahasa Arab yang artinya secara harfiah adalah meningkatkan.
Sungkeman di SDN Kepuhrejo I Kudu.
(ist)
Ini sebuah makna yang mengisyaratkan tindakan atau usaha untuk lebih terangkat dari posisi semula, sebuah ikhtiar untuk membuat sesuatu lebih tinggi dari posisi semula.
Nilai hikmah untuk diambil sebagai pesan yang motivatif dari makna tersebut adalah, setelah menjalankan ibadah puasa dengan menahan hal hal yang dapat membatalkan ibadah puasa, diharapkan tiap pribadi tumbuh dorongan atau ghiroh untuk berbuat dan bertingkah laku lebih baik dan mulia dari sebelumnya.
Selama sebulan dilatih untuk menahan. Menahan bukan berarti diam, tapi ada gerak dalam jiwa yang kuat, gerak untuk menolak dorongan serta keinginan.
Yuk Baca : Pesona Rumah Induk Mbah Haji Muchsin
Sementara itu, sebutan lain hari raya Idul Fitri di masyarakat Jawa adalah riyoyo atau riyadi yang artinya suka cita, bahagia. Jadi, kalau ada ucapan sugeng riyadi, maka artinya selamat merayakan hari suka cita/bahagia.
Secara filosofi itu bukan sekedar ucapan biasa. Tetapi, mengandung makna yang
mendalam sebagai ungkapan besarnya rasa syukur atas karunia dari Allah SWT yang
melimpahkan kenikmatan berupa kekuatan dan baik jasmani maupun ruhani dalam
menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Tak
hanya itu, pernak pernik tradisi juga menyimpan nilai luhur kehidupan yang bisa
kita jadikan pandu dalam laku sehari-hari. Di sini penulis memberikan tiga
pandangan terkait tradisi-tradisi yang ada.
Yuk Baca : Nyanyian Hutan Terbakar
Pertama, tradisi Sungkem. Ini dilakukan setiap anak kepada orang tua, dengan tujuan untuk mohon maaf kepada orang tua serta serta kerabat yang dituakan.
Kedua, tradisi Ambeng Ketupat. Ketupat yang berbahan beras putih dan dibungkus rajutan janur, bagi sebagian masyarakat Jawa juga dikembangkan ke dalam bentuk ambeng. Kemudian, dalam momen Kupatan, Ambeng Ketupat ini dihidangkan di acara Kenduri Ketupat. Dan umumnya, tradisi ini masih lestari di pedesaan.
Yuk Baca : Dunia Pendidikan Juga Bertanggungjawab Pada Kelestarian Lingkungan
Ketiga, adanya tradisi Halal Bi Halal. Halal Bi Halal berasal dari bahasa Arab yang artinya saling menghalalkan. Dalam praktiknya kegiatan Halal Bi Halal ini dilakukan dengan saling memaafkan dan meminta maaf. Hal ini dilandasi karena manusia adalah makhluk yang tidak lepas dari salah dan lupa.
Walhasil, pada momen Idul Fitri inilah masyarakat Indonesia rela berbondong-bondong mudik, pulang, dan menilik kampung halaman untuk merawat ruang serta kesempatan beridul fitri, sehingga keharmonisan dalam pergaulan sehari hari bisa terasa damai tanpa dengki dengki dan dendam.
Penulis : Guru Pendidikan Agama Islam SDN Kepuhrejo I Kudu, Hartono, S.Pd.
*Esai telah disunting untuk penyesuaian ejaan, bahasa, dan sistematika penulisan sesuai ketentuan Redaksi Majalah Suara Pendidikan