JOGOROTO - Dalam menggerakan suatu perubahan, baik dalam diri atau kelompok, kesadaran atas kondisi yang dimiliki sebagai awal proses refleksi sangatlah penting. Gunanya, tiada lain untuk menyusun arah yang tepat kepada harapan yang menjadi tujuan.


Dan tentu, sebagai pendidik, tujuan kita saat ini adalah memfasilitasi murid kita sebagai pemegang tongkat estafet menuju Generasi Emas 2045.


Baca Juga : Guru Harus Menciptakan Pembelajaran Bermakna


Salah satu ikhtiar yang dapat kita lakukan untuk dapat mewujudkannya yaitu melalui optimalisasi Komunitas Belajar. Optimalisasi ini bisa tercapai manakala Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) belajar bersama, berkolaborasi, rutin dan berkelanjutan, secara konsisten dengan tujuan yang jelas dan terukur untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.


Sehingga, hasilnya akan berdampak pada hasil belajar murid berlandaskan pada tiga ide besar dan lima dimensi pembelajaran saat ini. Melalui keduanya, suatu program dan rancangan pembelajaran akan menjadi pijakan dalam menjalankan seluruh prosesnya di dalam sebuah siklus inkuiri untuk perbaikan yang berkelanjutan. 


Baca Juga : ChatGPT Cepat Tak Selalu Tepat


Tiga ide besar tersebut antara lain fokus pada pembelajaran, membudayakan kolaborasi, dan tanggung jawab kolektif. Melalui tiga ide besar inilah, gerbong komunitas belajar mampu berkontribusi pada pembelajaran berkualitas yang dilakukan secara kolaborasi, tujuannya kembali untuk meningkatkan hasil belajar murid. 


Untuk itulah, dari ketiga dimensi itu tersebut masih perlu ditambah lima dimensi yang dibangun bersama. Yaitu nilai dan visi bersama, pembelajaran kolektif dan penerapannya, berbagi praktik baik, kondisi yang mendukung, sekaligus kepemimpinan bersama yang saling mendukung. 


Komunitas Belajar
(ist)

Lantas bagaimana mewujudkan hasilnya ? untuk mewujudkan hal tersebut, komunitas belajar dapat menggunakan siklus inkuiri dengan empat tahapan. Yaitu refleksi awal, perencanaan, implementasi dan evaluasi sebagai proses yang saling melingkar menuju pada hasil pembelajaran murid menuju rumah besar kita, Profil Pelajar Pancasila. 


Jika sudah demikian, lalu seperti apa gambaran ideal Komunitas Belajar yang diharapkan ?Tiada lain yang tumbuh subur dalam sekolah. Mengapa? Sesuai formula 70:20:10 yang dikenalkan di tahun 2005 oleh Eric Schmidt, ex-CEO of Google Inc.  


Baca Juga : Berkarya Berdampak Budaya Positif SDN Wonomerto II Wonosalam


Pembagiannya ialah, proses belajar di mana PTK belajar dan dapat menerapkan langsung di kelas apa yang dipelajari. 20% terjadi di komunitas antar sekolah saat PTK mengamati dan mendapat umpan balik. Serta 10% saat PTK belajar secara formal misalnya dalam acara webinar atau pelatihan. 


Perjalanan selanjutnya, harus terbangun juga komunitas belajar ramah guru. Komunitas yang membuat guru merasakan dan membutuhkan keberadaannya. Karena di dalamnya terjadi interaksi yang hangat dan menjawab keresahan dalam menjawab tantangan pembelajaran yang berpusat pada murid. 


Temu Pendidik KGBN Jatim II
(ist)

Hal tersebut dapat menjadi suatu refleksi, sebab, untuk sebuah perubahan akan memunculkan rasa tidak nyaman, karena kita sedang belajar keluar dari zona nyaman, dan dibutuhkan sikap mental nyaman atas ketidaknyamanan dalam suatu perubahan. Toh, dalam memulai perubahan tentu tidak selalu dimulai dari keberhasilan. 


Sehingga kita perlu menggunakan Mindset Thomas Alfa Edison yang pernah berkata, bahwa kegagalan adalah proses belajar untuk mencapai tujuan kita. Dan pada akhirnya kita harus mengakui bahwa perubahan bukan yang kita inginkan namun kita butuhkan. Oleh karenanya dibutuhkan keberanian untuk menumbuhkan inovasi. 


Baca Juga : Pentingnya Bertransformasi Pelatihan Mandiri di PMM


Perihal metodelogi di atas akan harmonis dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara, yang menempatkan kejatian diri pendidik harus berasas, Ngandel, Kandel, Kendel dan Bandel supaya terlebih dahulu terbiasa dengan segala dinamika perubahan pada praktik pembelajaran.


Afli Lailatin
(ist)

Selain itu jika kita ingat pesan Cak Nun juga telah senada dengan prinsip di atas, bahwa, kunci menuju Indonesia emas hanya satu, menjadikan murid kita menjadi profesor pada bidangnya masing-masing. 


Akhir kata, mari kita saling gotong-royong karena kita tidak ingin berjalan cepat sendirian, tetapi menggapai perubahan secara bersama-sama.


Penulis : Alfi Lailatin, M.Pd. (Guru Kelas IV SDN Ngumpul Jogoroto)


*Tulisan telah disunting oleh Redaksi Majalah Suara Pendidikan untuk penyesuaian bahasa dan sistematika penulisan.

Lebih baru Lebih lama