CERPEN - Langit pagi masih buram ketika Kinan membuka ponselnya. Notifikasi mengalir seperti air bah. Video TikTok-nya yang mengolok teman sekelasnya, Beno, sedang viral. Sudah 32 ribu tayangan dan 4 ribu komentar.
Sebagian besar tertawa. Sebagian lainnya mencaci. Tapi Kinan ? Ia tersenyum bangga.
“Aku bisa jadi konten kreator !” serunya sambil menunjukkan ke layar pada adiknya yang masih memakai seragam SD.
Yuk Baca : Sekolah Primadona ? Yang Bagaimana ?
Di sekolah, suasana lain terasa. Beno duduk di meja pojok kelas dengan wajah tertunduk. Beberapa teman menepuk punggungnya dengan canggung. Guru BK, Bu Laila, memanggil Kinan ke ruang konseling.
![]() |
Ilustrasi AI oleh Penulis |
“Kinan kamu tahu dampak dari video yang kamu unggah itu ?” tanya Bu Laila lembut tapi tegas.
Kinan mengangkat bahu, “Itu cuma lucu-lucuan Bu. Netizen juga suka.”
Bu Laila menunjukkan layar laptopnya. Beberapa komentar menyebut Beno dengan kata kata kasar. Bahkan ada akun anonim yang menyebarkan alamat rumahnya.
“Lucu menurutmu, tapi ini bisa jadi luka bagi orang lain. Kita hidup di era digital Kinan. Sekali klik, dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang kamu bayangkan,” Bu Laila mulai menegaskan ke Kinan. Kinan pun mulai merasa tidak nyaman.
Yuk Baca : Bagaimana Peran Pendidikan Dalam Pelestarian Lingkungan ?
Bu Laila melanjutkan, ”Itulah kenapa pendidikan karakter sekarang jauh lebih penting. Teknologi bukan masalah. Tapi bagaimana sikap kita menggunakannya. Itulah tantangan terbesarnya.”
Di hari itu, Kinan tidak langsung minta maaf ke Beno. Tapi ia pulang dengan kepala penuh pikiran.
Malamnya, ibunya menegur pelan.
“Bu Laila telepon ibu tadi. Katanya kamu harus ikut pelatihan literasi digital minggu ini.”
Kinan mengerang, “Ah, itu cuma buang waktu Bu.”
Tapi akhirnya Kinan pun mengikutinya. Dan di hari pelatihan itu, ia justru bertemu hal yang tidak ia duga.
Seorang narasumber bernama Kak Gilang, pemilik kanal YouTube Edukatif, membuka sesi dengan pertanyaan.
“Siapa di sini yang ingin viral ?”
Yuk Baca : Ormas Keagamaan Menambang ? Siapa Yang Diuntungkan ?
Semua angkat tangan, termasuk Kinan.
“Tahu nggak, viral itu bukan sekedar terkenal. Tapi juga bertanggung jawab atas pesan yang kalian sebarkan.”
![]() |
Ilustrasi oleh Penulis Tentang Pesan Literasi Digital |
Lalu Kak Gilang menunjukkan video pendek yang sempat viral karena menggambarkan seorang anak kecil menolong kakek menyebrang jalan. Video itu membuat banyak orang menggalang dana untuk memperbaiki trotoar di daerah tersebut.
“Media sosial bisa jadi tempat menyebar kebaikan. Tapi kalau disalahgunakan, ia juga bisa jadi alat perundungan, hoaks, bahkan merusak masa depan orang,” jelasnya.
Yuk Baca : Ruang Publik Pembentuka Identitas dan Semangat Kewargaan
Pelatihan berlangsung tiga hari. Mereka diajari tentang etika digital, tanggung jawab online, hingga bagaimana membedakan konten yang membangun dan yang merusak. Kinan mulai mengerti. Bukan teknologi yang salah. Tapi bagaimana ia menggunakannya.
Ia pun teringat Beno. Dan rasa bersalah menghantam dadanya lebih dalam.
Hari Senin tiba. Kinan tiba-tiba berdiri di depan kelas. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Tanpa suruhan guru.
“Aku mau minta maaf ke Beno dan kalian semua. Video itu salah. Aku ga pikir panjang. Aku cuma mau viral. Tapi lupa bahwa yang aku korbankan itu temanku sendiri.”
Kelas hening. Lalu Beno dan menepuk bahu Kinan.
“Gue maafin. Tapi tolong, jangan ada yang upload-upload gue lagi.”
Yuk Baca : Pemerintah Harus Responsif Terhadap Pendidikan Disabilitas
Tawa kecil terdengar. Ketegangan mencair. Bu Laila tersenyum dari luar kelas.
Beberapa minggu kemudian, Kinan mulai membuat konten edukatif. Ia membuat serial Judulnya Etika di Dunia Maya, yang dibuat bersama teman-temannya, termasuk Beno.
Kali ini kontennya memang tidak meledak seperti sebelumnya. Tapi justru mendapat respon yang positif.
“Setidaknya sekarang aku tahu, yang penting bukan viral. Tapi bermanfaat,” kata Kinan suatu hari pada Bu Laila.
Menanamkan pendidikan karakter di era digital memang bukan perkara mudah. Tapi selama ada ruang untuk refleksi, bimbingan yang tepat, dan keberanian untuk berubah, teknologi digital justru bisa menjadi alat luar biasa untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga beretika.
Cerpen di atas menggambarkan tantangan pendidikan karakter di era digital melalui fenomena sosial media dan penyalahgunaannya oleh remaja.
Yuk Baca : Guru : Figur Mulia Yang Mulai Luntur ?
Serta menunjukkan solusi melalui pendidikan literasi digital lewat pendampingan yang dilakukan oleh guru.
Sekali lagi, teknologi digital bukan lawan pendidikan karakter. Tapi ia bisa jadi mitra jika digunakan dengan bijak dan tepat.
Penulis : Vania Fairuz Sakhi, Mahasiswa S1 Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
*Seluruh tulisan telah disunting oleh Redaksi Majalah Suara Pendidikan